Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

Memburu Hagala

Sejak pekan lalu, kaum miskin di Kota Bima terlihat bergerilya memburu ‘hagala’—suatu fenomena khas Kota Bima yang membumi sejak beberapa tahun terakhir saat Ramadan. Mereka mendatangi rumah atau lingkungan masyarakat yang mereka anggap memiliki kemampuan lebih untuk menafkahkan rezekinya. Kantor pemerintahan dan pertokoan pun dalam radar incaran. Ada yang hanya kelompok kecil anak-anak, ada juga yang bersama orangtuanya. 

‘Hagala’ secara substansif hampir sama dengan sedekah, hanya soal istilah. Di berbagai wilayah Kabupaten Bima, tidak terlihat gerombolan mereka yang beraktivitas seperti itu. Entah mengapa. Padahal, secara sosiologis dan budaya akarnya sama, Dou Mbojo. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan ‘hagala’ adalah ekspresi jelas dari komunitas miskin kota (urban community poor). Diakui atau tidak.

Setidaknya, ada tiga sisi yang bisa ditilik ketika menerjemahkan fenomena rutin yang mengiringi lintasan Ramadan 1433 Hijriyah di Kota Bima ini. Pertama, gerombolan pemburu ‘hagala’ ini adalah fenomena kemiskinan. Aspek kemiskinan masih membaluti sekian persen masyarakat Kota Bima. Gerilya mereka dari satu lokasi ke lokasi lainnya adalah sodokan bagi mereka yang berada dan pemerintah daerah.

Kedua, suasana Ramadan adalah lintasan waktu yang tepat bagi umat Islam untuk berbagi. Pahalanya berlipat ganda jika  disertai keikhlasan. Kaum miskin melihat celah ini untuk merangsek dan ‘menjemput bola’. Gerilya jalan kaki dan pakaian lusuh mereka bisa dimaknai sebagai cubitan bagi orang kaya atau mereka yang ingin berbagi.     

Ketiga, perburuan ‘hagala’ diduga karena pemaknaan terhadap Idul Fitri yang (sudah lama) dipersepsi secara konsumtif. Selama ini, kita secara tidak sadar telah memertontonkan nafsu kepemilikan terhadap barang secara vulgar. Semua merasa wajib memiliki baju, sajadah, dan sarung baru, cat rumah baru, dan aksesoris rumah-tangga lainnya. Bagi kaum berada (the have) membelinya tidak terlalu masalah. Tetapi, bagi kaum miskin, melihat demonstrasi vulgar dan massif kepemilikan barang seperti itu adalah ketersiksaan tersendiri. Menampar sisi terdalam psikologis mereka. Kasus pencurian yang marak saat Ramadan, diduga karena sentiment itu. Nah, ‘hagala’ dalam kecenderungan berangkat dari kecemburuan ini.

            Lepas dari motivasi dan latarbelakang mereka, Ramadan memang waktu yang tepat untuk berbagi rezeki, ikut merasakan penderitaan kaum miskin. Tentu saja, tidak ada yang tiba-tiba bangkrut karena bersedekah senilai Rp5.000 atau lebih. Malah, Allah mengganjarnya dengan nilai lebih. ‘Hagala’ dalam iringan keikhlasan berbagi sesungguhnya adalah tabungan bagi masa akhirat nanti. Jadi, sambutlah hangat kedatangan mereka.(*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Politik

Kota Bima, Bimakini.com.- Setelah mendapat dukungan resmi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk maju menjadi bakal calon Wali Kota Bima, dr. H. Sucipto mengaku telah...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.com.- Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Seperti bisanya, anak-anak dan orangtua mengelilingi berbagai lingkungan untuk mendatangi rumah warga untuk meminta sedekah. Mereka...

Dari Redaksi

Pekan lalu, seorang pria yang diduga agen penjualan judi jenis toto gelap (Togel) di Desa Naru Kecamatan Sape Kabupaten Bima dibekuk oleh aparat Kepolisian....

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.com.- Pengurus Karang Taruna Maju Bersama Lewirato bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Dareah Bima (RSUD) Bima, Sabtu (28/4) lalu, menyelenggarakan kegiatan...