Kota Bima, Bimakini.com.- Fenomena banyaknya tamatan Sekolah Dasar (SD) yang tidak membaca di Kabupaten Bima, memicu reaksi pemerhati pendidikan dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Taman Siswa Bima, Damhuji, M.Pd. Dia meminta pemerintah segera mengevaluasi dan menggeser pejabat Dinas Dikpora dan Kepala Sekolah yang mengoleksi siswa yang gagap dan tidak bisa membaca.
Menurutnya, fakta banyaknya tamatan SD yang tidak bisa membaca merupakan aib dan gambaran mutu pendidikan di Bima saat ini. Hal itu juga merupakan ekses intervensi politik terhadap dunia pendidikan selama ini.
“Mau tidak mau, suka tidak suka Kepala Sekolah dan guru yang mengoleksi siswa yang tidak membaca atau gagap membaca harus segera dievaluasi, diganti dengan yang bermutu. Saya rasa menganggati orang yang tidak bermutu dengan orang yang bermutu bukan hal yang susah, tidak ada niat baik dari pemerintah mau tidak memajukan dunia pendidikan,” ujarnya di kampus STKIP Taman Siswa Bima, kemarin.
Dikatakannya, kasus siswa yang tidak membaca juga merupakan efek dari program sertifikasi pendidikan. Selama ini, Kepala Sekolah dan guru terlalu terlena dengan tunjangan itu sehingga mengabaikan kewajiban memajukan mutu pendidikan. “Saya melihat fungsi atau Tupoksi Dinas Dikpora dalam menggerakkan roda di bawahnya tidak optimal, sehingga penjabat fungsional dan yang berkaitan dengan pendidikan harus segera dievaluasi,” desaknya.
Diungkapnnya fakta lain, saat ini dunia pendidikan di Bima banyak ditunggangi dan diintervensi pejabat politik, sehingga ruang gerak dan implementasi regulasi berkaitan dengan pendidikan tidak efektif. Contohnya, banyak tenaga pendidik atau guru “karbitan” yang notabene merupakan titipan pejabat politik.
“Sekarang ini banyak tenaga pendidikan masuk menjadi pengajar ke sekolah bermodal SK atau rekomendasi pejabat politis. Dunia pendidikan di Bima saat ini sudah dibelenggu dan dikuasi pejabat politik sehingga wajar saja masalah mutu menjadi persoalan sekarang ini,” katanya.
Menurut Damhuji, fakta banyaknya tamatan SD yang gagap dan tidak bisa membaca sangat aneh dan menggambarkan anggaran pendidikan tidak efektif, sehingga bisa memantik spekulasi anggaran itu kemungkinan banyak disalahgunakan.
“Kalau anggaran pendidikan sebanyak 20 persen itu tepat sasaran, tidak mungkin mutu pendidikan seperti sekarang ini, tidak mungkin banyak siswa yang gagap dan tidak bisa membaca. Jelas ini mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam lingkup pendidikan,” katanya.
Ditambahkannya, jika pun alasan beberapa sekolah dasar terpaksa menaikkan siswa yang gagap dan tidak bisa membaca ke kelas enam hingga tamat dan melanjutkan sekolah menengah pertama karena takut reaksi orangtua dan bertabrakan regulasi dan program wajib belajar 9 tahun. Hal itu tidak memiliki korelasi positif.
“Hal itu hanya alibi sekolah, Kasek dan guru yang tidak bermutu saja, solusi sekarang pemerintah harus evaluasi satu per satu tingkatan elemen dalam pendidikan. Kalau tidak depan, pendidikan akan semakin terpuruk,” pungkasnya. (BE.17)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.