Demi untuk kepentingan masyarakat, Syamsuddin Ismail, membangun jembatan gantung penghubung antara Kelurahan Manggemaci dengan jalan Danatraha seorang diri. Pembangunan jembatan yang dimulainya sejak Juli 2011 lalu itu, kini telah dinikmati warga. Bagaimana kisah perjuangannya? Berikut rangkumanTaman Firdaus.
Jembatan gantung yang dibangun oleh pemerintah dihantam banjir bandang yang melanda lokasi itu. Praktis, warga kesulitan karena tidak ada lagi akses jalan yang bisa dilalui sebagai ‘jalan tol’. Kesulitan masyarakat itu terus berlangsung, tidak ada yang berinisiatif membenahinya.
Tidak hanya itu. Jembatan itu juga menjadi tumpuan harapan warga saat membawa jenazah ke pekuburan yang berada di seberang sungai. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya mengusung mayat tanpa jalur alternative itu.
Ada satu sosok yang merasakan keresahan batin warga itu. Dia adalah Syamsuddin Ismail. Panggilan jiwa untuk membantu sesama memenuhi dadanya. Dia merasa tertarik hatinya untuk membangun jembatan tradisional, rencana itu telah diutarakannya kepada masyarakat sekitar. Masyarakat menolaknya dengan dalih akan ada proyek dari pemerintah untuk membangun jembatan gantung yang baru. Rupanya, menunggu proyek ‘plat merah’ itu sesuatu yang tidak pasti.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa ide Syamsuddin hanya akal-akalan saja. Namun, Syamsuddin tetap bersikukuh dengan misi sucinya untuk membangun jembatan gantung tersebut. Sedikit demi sedikit, Syamsuddin mengumpulkan bahan menggunakan uang pribadi. Bahkan, kayu penyangga dan sebagainya, Syamsuddin rela menebang pohon jati di kebunnya.
Pekerjaan itu dimulainya dengan membentangkan kawat besar sebagai penyangga. Itu dilakukan seorang diri, tanpa bantuan siapapun. Meski solo run, itu tidak menyurutkannya semangatnya membangun jembatan gantung. Setelah kawat penyangga dipasang, dia mulai mencari kayu tiang. Dia mampu menemukan sisa kayu tiang listrik (kayu ulin) sebelum diganti dengan baja seperti saat ini. “Dulu tiang liatrik menggunakan kayu, saya cari kayu itu sampai dapat, atas pertolongan Allah saya menemukannya,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya, Kamis.
Setelah menancap tiang dan dirasakan kuat, barulah Syamsuddin merakit kayu penyangga lainnya yang digunakan sebagai alas dan beberapa tiang dalam jembatan itu. Selama membangun jembatan seorang diri, dia mengaku kewalahan karena sangat sulit untuk mendapatkan bantuan dana. Namun, ketulusan hatinya untuk kepentingan bersama, mengalahkan segalanya. Syamsuddin kembali menjual beberapa ekor ternaknya untuk kebutuhan jembatan tersebut.
Melalui anggaran seadanya hasil penjualan ternak, Syamsuddin kembali merakit jembatan itu hingga semua bahan yang dipergunakan kembali habis. Di tengah pekerjaannya merakit jembatan seorang diri Syamsuddin kekurangan kawat pengait. Nah, dia mendatangi Wakil Wali (Wawali) Kota Bima, H. A. Rahman, SE, sambil membawa contoh kawat tersebut.
Saat berjumpa Wawali, Syamsuddin mengutarakan perihal yang sedang dilakukannya saat ini. Wawali sangat mengaguminya dan berjanji akan membantunya sambil berkata “Kalau datang minta barang seperti kawat ini sama saya, saya akan membantu. Tapi kalau minta uang, saya tidak punya,” ujarnya mengutip Wawali.
Mendengar itu, Syamsuddin bukan main gembiranya. Dia pun membatin. “Ternyata saat saya membutuhkan keperluan untuk umat, rupanya ada saja dermawan yang membantu”.
Karena pembangunan jembatan itu masih terhalang, Syamsuddin mencoba mendatangi kembali Wawali untuk menagih janji yang pernah membuat hatinya senang. Dia mengaku selama mendatangi Wawali ibarat seorang pengemis yang keluar-masuk rumah maupun kantor tanpa sepeserpun yang diperoleh.
Karena tidak mendapatkan bantuan yang dijanjikan, Syamsuddin sedikit kecewa. Namun, tidak pernah mengurunkan niatnya melanjutkan pembangunan jembatan tersebut.
Semangatnya makin bertambah setelah mendapat dukungan dari keluarganya. Untuk mendapatkan kawat penyangga, Syamsuddin mengumpulkan uang sedikit-demi sedikit dan akhirnya bisa membeli kawat yang dimaksud.
“Kalau dihitung-hitung pembangunan jembatan itu anggarannya sama dengan membangun rumah permanen yang besar, tapi saya tidak pernah memikirkan itu, yang penting bagi saya ada amal jariyah yang saya bawa kembali saat menghadap Allah nanti,” ujarnya.
Pembangunan jembatan sekitar satu tahun itu akhirnya rampung. Kegembiraan Syamsudin tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Itu membuktikan bahwa keikhlasan dan tujuan mulia pasti akan menemukan momentumnya mewujud nyata. Hasil kerja keras telah menampakkan bukti.
Dia menamakannya jembatan ‘Sirathal Mustagfirin’. Jembatan tradisional itu tidak kalah kualitasnya dengan jembatan gantung yang dibuat oleh pemerintah pada umumnya. Seperti jembatan gantung sebelumnya, apabila dipakai untuk jalan akan berayun atau oleng ke kiri-kanan. Tetapi, tidak pada jembatan karya agung (masterpiece) yang dibangun Syamsuddin. Sama sekali tidak oleng dan goyang.
Jembatan itu saat ini sudah digunakan masyarakat, termasuk yang ingin ke pekuburan atau mengantar jenazah yang letaknya di seberang sungai. Walaupun jembatan itu sudah digunakan oleh pejalan kaki maupun pengendara sepeda motor, keinginan Syamsuddin menyempurnakan jembatan itu masih banyak. Salahsatunya dengan membangun atap untuk memertahankan kayu-kayu penyangga agar tidak mudah lapuk dari air hujan.
Saat ini, Syamsudin sedang menyiapkan dana untuk membangun atap jembatan. Ada satu harapannya, dia menginginkan agar jembatan itu bisa diresmikan oleh Wali Kota Bima, HM. Qurais. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.