Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

Lapak PKL itu…

Pembangunan lapak pedagang kaki lima (PKL) di lapangan Pahlawan Kota Bima, masih dalam radar sorotan sebagian kelompok masyarakat. Lapak yang dibangun dari dana hibah Kemenkop dan UKM senilai Rp300 juta itu sempat diprotes oleh Karang Taruna. Alasannya, keberadaan lapak menganggu fungsi lapangan yang selama ini sering digunakan untuk kegiatan umum. Apa yang kini terjadi adalah dinamika pembangunan.

Paling tidak, ada dua sisi yang perlu dicermati dari pembangunan lapak gratis bagi 50 lebih PKL dan baru dituntaskan 32 pada tahap awal itu.      Pertama, keberadaan PKL di lapangan Pahlawan selama ini disorot karena membangun citra ketidaknyamanan suatu kota. Alih-alih memindahkannya ke luar lapangan, malah sekarang menempatkannya secara “layak”. Ada kesan Pemerintah Kota Bima “menjustifikasi”—sesuatu yang tidak dilakukan di lokasi lain. Sisi ini bisa memicu protes.

Kedua, sisi estetika pembangunan suatu kota. Keberadaan lapangan Pahlawan dan lapangan Merdeka, sudah lama menjadi ikon Kota Bima. Kemampuan Pemkot Bima memindahkan PKL di lapangan Merdeka adalah keberanian tersendiri yang dulu diapresiasi. Giliran lapangan Pahlawan, kesan  kegagapan menyeruak ke permukaan.

       Harus diakui, maraknya PKL yang menempati areal strategis adalah masalah umum perkotaan di Indonesia. Desakan ekonomi dan peluang usaha, himpitan arus modernitas, menyebabkan para pedagang ngos-ngosan merenda hidup. Mereka harus dibantu untuk mendapatkan ruang untuk berusaha. Itu tugas pemerintah.

       Patut disyukuri bahwa penyelesaian masalah lapak di Kota Bima tidak dalam tempo ketegangan tinggi berkat pendekatan persuasif.  Di daerah lain, kerap terlihat ketegangan antara PKL dengan aparat Pol PP yang menertibkannya. PKL bersikukuh dengan peluang berusaha yang semakin sempit, digenjet modernisasi. Pol PP melandaskan aksi (anarkisnya) dengan konsep tata ruang, keindahan, dan kenyamanan. Apakah pembangunan itu masuk dalam tataruang Kota Bima? Ini yang mesti dijawab.

       Untuk areal strategis selevel lapangan Pahlawan, mestinya ada transparansi sebelum lapak dibangun. Meminta aspirasi, pendapat, dan pandangan publik mengenai berbagai sisi. Seperti yang dulu dilakukan dalam pemisahan jalan di depan Paruga Nae dengan polling melalui media massa. Pemagaran dengan taman bunga pada sisi lapangan Merdeka juga sempat ‘say hello’ pada publik. Meski demikian, masih ada ruang mendiskusikannya lebih lanjut.

Jika alur protes itu diterjemahkan atau digiring dalam sentimen politis, maka beban kontroversi bakal bertambah. Nah, tantangannya sekarang adalah bagaimana usaha PKL bergeliat, namun estetika wilayah tidak terganggu. (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Berita

Oleh : Munir Husen (Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima) Kota pada hakekatnya adalah suatu tempat yang berkembang terus menerus sesuai dengan perkembangan zaman...

Politik

Bima, Bimakini.com.- Hasil klarifikasi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Bima terhadap Camat Woha, Dahlan, akan direkomendasikan kepada Pj. Bupati Bima, Drs. Bachrudin, untuk kepentingan...

Politik

Bima, Bimakini.com.- Quick Cound (QC) adalah produk akademis yang ditujukan sebagai penyimbang atau pengontrol hasil kerja lembaga penyelenggara Pemilu. Masyarakat tidak perlu menunggu lama...

Pemerintahan

Bima, Bimakini.com.- Dalam sebulan, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskemas) Bolo melayani hingga 1.000 pasien. Apalagi, jika musim  hujan, kunjungan biasanya melebihi kapasitas yang ada. Lantai...

Pemerintahan

Bima, Bimakini.com.-Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten, Abdul Natsir, S.Sos, mengatakan tugas anggota legislatif dalam menyerap aspirasi masyarakat tidak dibatasi oleh...