Kontroversi pembangunan lapak pedagang kaki lima (PKL) di lapangan Pahlawan masih saja bergaung. Para Pedagang harap-harap cemas soal nasib mereka. Apakah akan benar-benar menempati lapak yang dibangun pemerintah itu, atau malah mereka akan “gigit jari” karena lapak harus dibongkar menyusul desakan dari sejumlah warga Lain. Namun, ada sisi lain dari kehidupan seorang pedagang yang sudah lebih dari sepuluh tahun berjualan di tempat itu. Berikut rangkuman Deddy Rosyadi.
Aisiyah (55) warga Rabangodu berjualan di sekitar lapangan Pahlawan terhitung lebih dari 10 tahun. Dia tidak peduli hiruk-pikuk persoalan pembangunan lapak oleh Dinas Koperindag Kota Bima dengan anggaran lebih dari Rp300 juta tersebut. Dia bukanlah pedagang yang mendapat jatah untuk menempati salahsatu los lapak itu.
Nenek sejumlah cucu ini mengaku tidak kebagian lapak dari pemerintah dan akan terus berjualan dengan hanya menggelar dagangan di atas karpet atau tikar. Apa pasal? Ditemui pekan lalu saat berjualan di pojok Selatan lapangan Pahlawan, Aisiyah menceritakan bahwa dirinya merupakan salahsatu pedagang yang pertama berjualan di tempat tersebut. Bahkan, jauh sebelum sejumlah kois atau tenda para pedagang ada.
Dia berjualan dengan cara mengelar dagangan yang tidak seberapa banyaknya, beralas tikar atau tarpal. “Karena tidak punya modal, sejak awal berjuaan saya hanya gelar tikar saja,” ungkapnya.
Mengelola usahanya bersama pedagang bakso asal pulau Jawa, Bakri, yang juga telah lama berjualan di lokasi tersebut. Mereka kebetulan bertetangga. Dialah yang menyiapkan air mineral dingin, kacang asin, kerupuk dan sejumlah minuman ringan lainya pada konsumen bakso Bakri.
Dagangannya hanya makanan atau minuman yang biasa dibutuhkan pembeli saat atau usai menyantap bakso. Aisyiah juga hanya akan berjualan jika Bakri berjualan bakso. Mereka ibarat rekan bisnis. “Kalau Bakri tidak jualan bakso, saya juga libur dan tidak akan datang ke lapangan untuk gelar dagangan, “ujarnya.
Seiring berlalunya waktu dan perkembangan Kota Bima, para pedagang pun mulai berdatangan dan menempati sudut-sudut lapangan Pahlawan. Para pendatang baru ini mulai mendirikan kios dberatap tarpal seadanya.
Diakui Aisyiah, para pedagang ini sebagian besar adalah warga Rabangodu dan mereka biasanya masih memiliki pertalian keluarga. “Para pedagang itu rata-rata memiliki modal yang cukup, sehingga mampu membuat tenda dan dagangannya banyak,” ujarnya.
Aisyah sejak awal sangat mengimpikan memiliki lapak sediri untuk berjualan. Namun, karena dari keluarga tidak mampu. akhirnya harapan itu tinggal angan-angan saja. “Saya tetap bertahan dengan cara berjuaan seperti ini, karena tidak punya modal,” ungkapnya.
Saat mulai pembangunan lapak permanen oleh Pemerintah Kota Bima, secercah harapan pun muncul. Dia berharap mendapat bagian dari kavlingan lapak yang diberikan pemerintah. Apalagi, kabarnya pedagang tidak dimintai bayaran untuk menempati lapak-lapak tersebut, karena bangunan itu khusus diberikan pada pedagang yang telah lama di tempat itu.
Namun, harapan itu segera pupus. Begitu mendengar informasi pedagang yang mendapatkan jatah lapak hanya yang sebelumnya telah mendirikan tenda atau lapak sendiri. “Saya telah lama mengimpikan memiliki lapak untuk berjualan, harapan itu datang, tetapi sekarang itu hanya mimipi saja rupanya,” ujarnya sendu.
Ingin protes? “Saya orang kecil Pak, apa iya suara saya didengar. Saya juga tidak berani meminta,” ujarnya.
Mimiknya pun penuh kepasrahan, harapan untuk sedikit mengubah cara mencari penghidupan agar lebih bermartabat redup sudah. Dia pun kini tidak peduli lagi dengan pro-kontra terhadap pembangunan lapak tersebut, karena tidak ada untung-rugi baginya. Hal yang penting baginya adalah asap dapur tetap mengepul, meski harus mengais rezki di tengah himpitan para pedagang bermodal besar, dengan tubuh yang semakin renta.
Harapan untuk mendapatkan perhatian dari Pemerintah tetap membuncah dalam dirinya, tetapi mau meminta pada siapa. Dia tidak memiliki koneksi, apalagi relasi para pejabat. Kini, dia hanya pasrah pada yang Mahakuasa dan tetap tegar menjalani kembali hari-hari di pinggir lapangan.
Menggelar tarpal, menjajakan dagangan yang tidak seberapa. Meski mata nanar memandang rekan pedagang lainnya yang menikmati lapak berwarna biru. Masih adakah keadilan bagi mereka? (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.