Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

“Intelektual Preman”

Pekan lalu, di tengah keriuhan suasana Kabupaten Bima yang diwarnai dua kasus ketegangan antar­kampung, mahasiswa juga muncul dalam dinamikanya sendiri. Dua kelompok pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima dan pengurus Teater setempat, terlibat saling bacok. Perang batu pun menghiasi jalanan depan kampus calon guru itu. Suasana sempat tegang, meski akhirnya eska­lasinya tidak terlalu meluas. Kasus yang melibatkan kaum intelektual muda itu seakan memaripurnakan warna kekerasan Dana Mbojo. Setidaknya sepekan lalu.

Apakah ketegangan menggunakan senjata tajam dan munculnya satu korban mahasiswa itu bagian dari dinamika kehidupan dunia kemaha­siswaan? Pernyataan Ketua STKIP Bima, Mustamin, soal itu perlu dikritisi. Dari sisi kasus, memang iya. Maha­siswa sudah lama “berselingkuh” dengan aroma kekerasan, tidak hanya di luar kampus, tetapi juga di dalam areal kampus.  Kita kerap dikejutkan dengan beragam aksi kekerasan yang diperagakan oleh mahasiswa di Medan, Jakarta, Makassar, dan Maluku. Mereka mengumbar emosi, bahkan di lingkungan kampus. Apa yang mereka lakukan merupakan sinyal degradasi kemampuan mereka dalam menahan diri dan memaknai peran yang seharusnya dimainkannya.

Keseluruhan dinamika mahasiswa  semestinya bergerak pada bandul pengembangan sisi intelektualitas dan karakter mereka, tidak terjebak pada lilitan warna baru anarkisme. Maha­siswa mesti menyadari posisinya sebagai agen perubahan sosial dan  wadah organisasi mesti dimanfaatkan untuk menajamkan peran itu, sebelum berinteraksi dengan dinamika kehidupan sosial dan medan pengab­dian masing-masing. Jika sikap emosio­nal lebih mengental, bahkan hingga mengancam nyawa orang lain, maka persepsi publik (Bima) tergiring mulus menyamakannya dengan praktik para preman. Ya, semacam “intelektual preman”.

Dari titik ini, kita semua pantas prihatin karena bahan baku utama masa depan bangsa itu tidak sedang ‘on the track’. Mereka memainkan ‘irama sumbang’. Semoga warna kekerasan tidak lagi muncul, khusus­nya dari kaum intelektual muda Mbojo. (*)

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait