Bimakini.com,- Mengapa warna kekerasan di Tanah Bima akhir-akhir ini semakin mengental? Mengapa konflik yang awalnya hanya lingkup personal atau di lingkungan sekolah bisa melebar dan memantik emosi warga sekampung? Sebegitu rapuhkah rasa kekerabatan kita dan mengapa mudah tergerus sedemikian parah? Ya, itu rajutan pertanyaan warga Kabupaten dan Kota Bima mereaksi kasus konflik antarwarga Dadibou, Kalampa, dan Samili Kecamatan Woha. Dalam bahasa ibu mereka membahasakannya dengan kalimat “ncao ncau dou Mbojo ke…”
Kita dikejutkan lagi munculnya konflik antarwarga kampung di Woha itu. Satu warga, Sukarman, tewas meregang nyawa setelah peluru tajam dari senjata api rakitan menerobos mukanya. Belasan orang lainnya terluka diterjang anak panah. Belum ‘kering luka kasus Godo’ muncul luka baru dalam resonansi dampak yang menguatirkan. Rupanya, konflik kini menjadi ‘menu harian’ masyarakat dan rawan meletup oleh hal-hal sepele. Kita pantas prihatin.
Ada tiga sisi yang layak kita cermati dari kemunculan kasus itu. Pertama, maraknya penggunaan senjata tajam, terutama senjata api rakitan. Fakta ini mesti menjadi fokus perhatian semua pihak karena kepemilikan itu bisa menjadi ‘bom waktu’ yang bisa disalahgunakan pada berbagai kesempatan. Fakta bahwa Samili, Dadibou, dan Kalampa adalah wilayah bertetangga merupakan sinyal bahwa kepemilikan senjata seperti itu sangat berbahaya.
Kedua, fenomena letupan kecil, bahkan di ruang privasi, yang bisa berubah hiruk-pikuk di ruang publik. Sisi sosiologis seperti itu mendesak dibedah tuntas untuk kepentingan Bima ke depan agar tidak menjadi hambatan serius bagi pembangunan. Pembedahan tuntas diperlukan agar kita tidak terus direcoki konflik yang kontraproduktif bagi kemaslahatan. Ini ‘pekerjaan rumah’ kita semua.
Ketiga, perlunya segera dibangun forum islah untuk menyatukan ‘serpihan-serpihan yang terkoyak oleh buncahan emosi liar’. Tidak ada kekerasan dan ketidakakuran yang bisa menopang harmoni serta program pembangunan. Sebagai Muslim, warga tiga desa itu adalah bersaudara. Luka pihak lain adalah luka kita semua. Pesan agama, mengawetkan permusuhan lebih dari tiga hari adalah perbuatan yang dilarang.
Kita mengharapkan semoga segera ada momentum yang bisa menyatukan hati. Saudaraku, berdamailah di perbatasan…(*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.