Kota Bimakini.com.-Keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuannya tidak hanya ditentukan oleh melimpah-ruahnya sumberdaya alam, tetapi sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa bangsa yang besar dapat dilihat dari kualitas atau karakternya.
Menurut Akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Sunan Giri Bima, Ahmad Syagif, M.Pd, aspek penerapan pendidikan karakter di Indonesia masih gagal membentuk bangsa yang bermartabat dan berwibawa. Kegagalan pencapaian tujuan pendidikan tersebut terlihat dari maraknya berbagai fenomena kenakalan remaja.
Dicontohkannya, seperti maraknya tawuran antarpelajar, penggunaan narkoba dan psikotropika, pemerasan dan kekerasan (bullying), kecenderungan dominasi senior terhadap junior, pergaulan bebas, kecurangan dalam ujian, plagiarisme dan sebagainya.
Katanya, di masyarakat, indikator hal tersebut dapat dilihat dari etos kerja yang buruk, tingkat kedisiplinan yang rendah, kurangnya semangat kerja keras, keinginan hidup yang mudah tanpa kerja keras, serta sifat materialisme dan hedonisme.
“Maraknya kasus Korupsi, Kolusi, Nepotisme, pornografi serta pornoaksi, dan masih banyak kasus lainnya juga menjadi indikator kegagalan pendidikan karakter di negara kita,” papar Syagif saat menyampaikan orasi ilmiah pada acara wisuda STIT Sunan Giri Bima, Sabtu lalu, di gedung serbaguna Muhammadiyah Bima.
Diuraikannya, dalam diskursus di tingkat global, munculnya paham Darwinisme yang hanya memandang realitas fisik sebagai hal utama dan memandang inferior masalah moralitas, bangkitnya logika positivisme, yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar atau salah, telah menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia pendidikan.
Munculnya paham personalisme yang melegitimasi hak-hak individu, juga telah mendelegitimasi otoritas moral dan menambah komitmen sosial.
Demikian pula dengan paham pluralisme yang mempertanyakan nilai-nilai siapa yang diajarkan, serta paham sekuler yang mengobarkan debat apakah pendidikan moral merupakan tanggung jawab agama atau Negara.
“Persoalan itu turut memberikan kontribusi terhadap memudarnya implementasi pendidikan karakter di institusi pendidikan,” terangnya.
Menurutnya, sekolah dapat dikatakan sebagai institusi pendidikan turut bertanggung jawab terhadap kegagalan pembentukan karakter di kalangan siswanya, meskipun tanggung jawab terbesar terletak pada keluarga. Sekolah tidak dapat menghindarkan diri dari upaya pembentukan karakter positif bagi anak didiknya.
Oleh karena itulah, kata Syagif, saat ini pendidikan karakter bagi sekolah bukan lagi sebagai opsi, melainkan keharusan yang tidak terhindarkan, sebagaimana yang diimplementasikan di berbagai Negara maju seperti Amerika Serikat. Di Indonesia, pendidikan karakter sudah menjadi program pemerintah dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka panjang Tahun 2005-2025.
Pada aspek lain, jelasnya, Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jika umat Islam Indonesia memiliki karakter mumulia, maka Indonesia telah berhasil membangun karakter bangsanya. Sebaliknya, jika umat umat Islam Indonesia hanya bangga dalam hal kuantitas, tetapi tidak memerhatikan kualitas (terutama karakternya), maka Indonesia telah gagal membangun bangsanya.
“Artinya, ketika umat Islam benar-benar memahami ajaran agama Islam dengan baik lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, pastilah terwujud tatanan kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang berkarakter,” ujarnya.
Kenyataan membuktikan menurutnya bahwa Indonesia banyak bermasalah dalam hal karakter. Hal ini berarti bangsa Indonesia yang didominasi oleh umat Islam belum mengamalkan ajaran agama dengan baik. Untuk itu, dia mengajak agar menjadikan agama sebagai fondasi utama dalam membangun karakter manusia. “Dengan agama-lah karakter yang seutuhnya bisa terbangun,” katanya. (BE.20)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.