Kantor Pengadilan Negeri (PN) Raba Bima didatangi massa dari Kelurahan Kendo Kecamatan Raba Kota Bima, Senin (19/11) lalu. Mereka adalah keluarga penggugat yang kalah dalam sengketa kasus tanah. Protes pun disuarakan melalui demo, karena mengelaim putusan Pengadilan setempat tidak sesuai fakta hukum. Ekspresi kekecewaan seperti itu bukan cerita baru di Bima dan Indonesia ummnya.
Putusan Pengadilan memang kerap menuai protes dari pihak yang kalah. Ada yang menyalurkannya dalam format normatif, tetapi ada juga yang membahasakannya aksi jalanan. Kadang bentrok dengan aparat keamanan. Tampilan performa aparat hukum yang belum meyakinkan kian menambah derajat ketidakpercayaan publik. Jika disurvai, sebagian besar masyarakat “memvonis” bahwa penegakkan supremasi hukum di kolong Republik ini belum sesuai harapan. Suatu tantangan yang mesti segera dijawab tuntas.
Secara normatif, jika ada protes, aturan hukum sudah menetapkan jalur banding sebagai bentuk perlawanan lain. Bila pun ada dugaan “permainan di bawah meja” dalam kasus apapun, melaporkanya dengan menyertakan bukti bisa dilakukan. Namun, aksi massa warga Kendo yang didominasi kaum wanita dan disalurkan dengan cara melempari telur busuk adalah sinyal yang perlu ditangkap. Perlu dicermati sebagai fenomena serius untuk bahan refleksi bersama.
Lepas dari posisi dan materi kasus itu, sindiran telur busuk itu selayaknya menjadi bahan evaluasi bagi penegak hukum ke depan. Betapa keadilan hukum menjadi faktor penting dalam tertib sosial. Hukum yang benar-benar ditegakkan berdampak luas. Sebaliknya, hukum yang telah ‘dibisniskan’ untuk kepentingan sempit akan mengoyak bangunan sosial. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.