Bima, Bimakini.com.-Anggota DPD RI Dapil NTB, Prof. Mayjen (Purn) Farouk Muhammad mengaku intensitas konflik horizontal maupun vertikal di Provinsi NTB relatif tinggi. Ada beberapa hal yang memengaruhi itu, di antaranya rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dan penegak hukum.
Kata Farouk, hal itu menyebabkan pilihan untuk menyelesaikan persoalan pada masyarakat maupun kelompok komunal di daerah cenderung berakhir melalui jalur kekerasan. Pada sisi lain, kepemimpinan Kepala Daerah di NTB belum mengakar di hati rakyat karena pemimpin yang diangkat banyak yang tidak berkualitas.
“Kebanyakan pemimpin yang dipilih asal memenuhi prosedur aturan demokrasi saja. Akibatnya banyak lahir pemimpin yang tidak mampu tampil menyelesaikan persoalan,” ujarnya saat silaturrahmi di Polres Bima Kabupaten, Rabu (7/11).
Menurutnya, rendahnya kepercayaan itu tidak hanya pada level pemerintah. Saat ini kepercayaan publik terhadap pemimpin dan tokoh agama pun sudah sangat memudar, karena disebabkan krisis ketedalanan. Kondisi itu menyebabkan tidak ada lagi tokoh panutan yang didengarkan oleh masyarakat ketika muncul persoalan.
Dikatakannya, faktor lain juga bisa disebabkan masalah ekonomi, karena suatu daerah dengan tingkat ekonomi rendah, maka potensi konfliknya tinggi. Dicontohkannya, seperti banyaknya pengangguran intelektual yang disumbangkan para sarjana. Ketika muncul persoalan mereka selalu ingin tampil menunjukkan eksistensinya pada masyarakat.
Pada aspek social-budaya, katanya, terdapat beberapa daerah yang memang memiliki karakter sosial budaya yang temperamental, seperti di wilayah Indonesia timur yakni NTB, NTT atau Papua. Karakter temperamental ini cenderung cepat terbakar emosinya ketika dihadapkan dengan persoalan.
Implikasinya, seperti dalam kasus munculnya miss information menyebabkan kelompok yang cepat tersulut emosinya menyelesaikan persoalan dengan cara destruktif. Hal itu seperti terjadi di Lombok yang menewaskan orang lain yang tidak berdosa hanya karena informasi yang tidak dicek kebenarannya.
Padahal, jelas pria kelahiran Kecamatan Sape Kabupaten Bima ini, tindakan “main hakim sendiri” itu nilainya tidak akan terjadi seandainya setiap informasi berisi bahasa provokasi langsung diklarifikasi pada pihak yang berkompeten. Celakanya, hampir semua kasus berawal dari miss information, seperti baru-baru ini terjadi di Dompu.
“Korban yang luka diinformasikan meninggal, sehingga memicu reaksi kelompok lainnya,” katanya.
Sejumlah faktor yang dijelaskannya itu rencananya menjadi prioritas untuk disampaikannya pada Pemerintah Pusat sebagai acuan penanggulangan, sekaligus pencegahan konflik jika muncul lagi. (BE.20)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.