Bima, Bimakini.com.- Sejumlah pemilik tambak di Kecamatan Woha dan Belo mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) melaksanakan normalisasi tambak. Masalahnya setiap terjadi banjir rob, pemilik kerap rugi jutaan hingga puluhan juta.
Petani tambak asal Desa Talabiu Kecamatan Woha, Hamzah mendesak DKP segera melaksanakan normalisasi lahan budidaya perikanan laut. Jika tidak, setiap masa budidaya petani akan selalui dihantui rugi. “Kami harapkan bapak-bapak yang terhormat di Dinas Kelautan jangan hanya kasihan saja sama kami tanpa ada tindakan nyata, masa sudah puluhan bahkan ratusan kali tambak kami jebol tidak ada upaya dari Dinas memerhatikan dengan melakukan normalisasi?” katanya di Talabiu, kemarin.
Diakuinya, akibat dilabrak banjir rob bulan lalu hampir seluruh pemilik tambak rugi jutaan hingga puluhan juta. Hal yang sama berpeluang terjadi saat musim hujan dan kondisi cuaca buruk seperti sekarang ini. Padahal hasil budidaya itu merupakan andalan ekonomi sebagian masyarakat terutama wilayah pesisir seperti desa Talabiu, Padolo dan Belo. “Selama ini memang sudah ada pendataan dari Badan Penangggulangan Bencana tapi hasilnya masih nihil. Kalau bisa kami sangat mengharapkan normalisasi tambak,” harapnya.
Dikatakannya, akibat tambak rusak dilabrak banjir laut, terpaksa menghentikan usaha bandeng presto. Padahal selama ini sangat menjanjikan keuntungan. “Saya juga masih trauma karena bulan lalu saya rugi belasan rupiah, sementara mau cari bibit atau nener susah juga. Terpaksa nunggu musim berikut. Jadinya, usaha bandeng presto juga macet,” katanya.
Harapan yang sama diungkapkan Usman, pemilik tambak lainnya. Dinas terkait diharapkan segera memerhatikan persoalan yang dihadapi nelayan tambak. “Mungkin kalau sudah dibenahi misalnya digali dengan ekscavator dan dibikin pembatas onggokan yang tinggi mungkin sulit dilabrak banjir laut lagi,” katanya.
Diungkapkannya, sebenarnya dari dulu pemilik tambak mengharapkan normalisasi, hanya saja selama ini karena pemerintah dirasakan apatis sehingga masyarakat tidak berani berharap perhatian. “Kalau banyak tambak yang jebol maka yang kesulitan dan kasihan juga penjual bandeng, karena mata pencaharian mereka macet, mungkin anak-anak yang kuliah atau sekolah juga terganggu,” katanya. (BE.17)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.