Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Optimalisasi Masyarakat Berantas Korupsi

Oleh: Musthofa Umar, S. Ag., M. Pd.I
Minggu 9 Desember kita memeringati Hari Antikorupsi se-Dunia, sehari setelahnya kita juga memeringati Hari Hak Asasi Manusia se-Dunia. Dua perayaan penting ini, sangat berkaitan erat. Banyak masyarakat yang dilanggar HAMnya dengan praktik korupsi. Tahun 2011, saya pernah menulis di media ini juga, bagaimana korupsi merajalela di Indonesia dan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah sebagai bentuk ‘kronisnya’ penyakit ini.

Bangsa ini bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun terlena dalam praktik korup, sampai akhirnya ketidakpercayaan masyarakat pada penegak hukum, yang seharusnya memberantas korupsi dan lahirlah KPK. Usia KPK memang relatif muda, namun gebrakannya selama ini, sedikit tidak memberikan angin segar kepada masyarakat, bahwa sedikit demi sedikit praktik-praktik korupsi itu akan habis di negeri ini.
    Seiring apresiasi penuh kepada KPK, ada saja pihak yang mencibir KPK. Namun, itu tidak penting untuk diperhatikan, perhatikanlah usia berdirinya KPK dan lamanya wabah korupsi ini menjangkit masyarakat. Korupsi bisa dikatakan sudah mendarah daging, dan sulit memang untuk dibalik secepat itu, perlu waktu yang lama. Di samping, seolah-olah KPK berjalan sendiri, terbukti dengan adanya praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh lembaga lain, yang diharapkan selama ini membantu KPK. Misalkan saja, baru-baru ini, Jaksa Agung Yamani diduga memanipulasi hasil putusan terhadap gembong Narkoba Surabaya. Mantan Korlantas Polri yang menjadi tersangka kasus simulator SIM.
Belum lagi DPR yang harusnya sebagai pengontrol karena fungsi lembaga legislatif ini adalah salah satunya sebagai pengawas, justru ikut diawasi gerak geriknya, karena banyaknya kader/oknum anggota DPR terlibat praktik korupsi. Istilah-istilah lazim yang selama ini menjadi peluang praktik korupsi terkuak, lebih-lebih setelah kasus Dahlan Iskan (menteri BUMN) melaporkan beberapa oknum anggota DPR RI melakukang praktik-praktik kotor dengan beberapa Dirut BUMN. Istilah-istilah yang muncul, ada kongkalikong, pemerasan, jual beli pasal, penyuapan, bagi untung, saling menguntungkan, penggelembungan, lobi-lobi anggaran dan sebagainya. Semua ini tentu bagi kita sudah bukan asing lagi.  Hal-hal semacam ini kerap terjadi  disekitar kita. Bahkan, kerap juga kita terjebak dalam hal tersebut.
      Jika lembaga-lembaga yang diharapkan belum memberi kepuasan, atas kinerja mereka dalam memberantas korupsi, maka harapan kita selain KPK adalah media massa dan masyarakat itu sendiri. Peran optimal masyarakat haruslah berani menjadi pioner keberhasilan pemberantasan penyakit bangsa yang satu ini. Walaupun masih harus ditingkatkan, misalnya memberikan sanksi yang tegas. Karena beberapa koruptor yang sudah ditahan, ternyata masih tidak membuat jera koruptor yang lain. Disinyalir, ada pergeseran usia rata-rata belia antara 30 sampai dengan 45 tahun, koruptor-koruptor yang muncul. Ini sangat miris, sekaligus menciderai semangat Sumpah Pemuda, yang mana bertujuan untuk membuat Indonesia sejahtera, malah membawa bangsa ini ke lembah yang semakin terpuruk.
Dari itu wajar beberapa pakar hukum dan tokoh bangsa ini, menyamakan koruptor sama dengan teroris. Seperti editorial Bimeks sebelumnya, bahwa korupsi adalah musuh kita bersama. Lain dari itu, beberapa tokoh juga menganggap hukuman mati seperti di Cina, mungkin sudah harus kita laksanakan untuk membuat efek jera terhadap mereka. Membuat mereka miskin atau seumur hidup juga bisa menjadi alternatif agar bangsa ini betul-betul merasakan dampak reformasi yang sesungguhnya. Reformasi bergulir sejak 2008 nyaris tanpa makna. Karena agenda reformasi salah satunya adalah, reformasi supermasi hukum. Hukum harus ditegakkan terutama bagi mereka yang korupsi. Beberapa pencegahan memang sudah dilakukan, namun masih ada saja mereka yang berani “bermain dibelakang layar”.
Nah, dari itu masyarakat secara luas harus dipahamkan, akan hal ini. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Bab V nya mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 41 yang pada intinya masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, peran serta tersebut dapat diwujudkan dengan beberapa cara; Pertama, hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya telah terjadi tindak pidana korupsi. Kedua, hak untk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi pada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
Ketiga, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Keempat, hak untuk memeroleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Kelima, hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal; melaksanakan haknya sebagaimana  dimaksud dalam poin satu, dua dan tiga. Juga diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan sidang pengadilan sebagai saksi pelapor. Saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Masyarakat memiliki hak dan kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas dan ketentuan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dengan menaati norma agama serta norma sosial lainnya. Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Hendaknya masyarakat dalam berperan serta memberantas korupsi menyampaikan bukti-bukti adanya tindak pidana korupsi. Bukti-bukti ini bisa berupa rekaman pengakuan, saksi yang ada serta surat-surat penting yang bisa menunjukkan orang tersebut terlibat tindak pidana korupsi.
   Praktik-praktik tindak pidana korupsi selama ini, sering dan selalu melibatkan masyarakat tertentu. Misalnya masyarakat yang ingin mengurus suatau perkara, atau suatu urusan terkadang  kita sering memberikan uang agar urusan kita cepat tanpa melalui prosedur yang ada. Atau ada penawaran dengan iming-iming selesai dengan cepat. Praktik sogok-menyogok atau menyuap untuk memuluskan urusan, sangat sering kita jumpai di masyarakat. Dari hal yang remeh dan sepele, menjadi besar dan sering berulang-ulang. Oleh karena itu, jika masyarakat sebagai harapan terakhir pencegahan tindak pidana korupsi, juga melakukan dan melegalkan praktik yang sama, maka korupsi akan terus merajalela. Kesadaran akan pentingnya pemerintahan yang bersih, masih kurang memang di masyarakat kita, namun upaya terus-menurus dilakukan agar terbiasa dengan hal-hal baik.
    Padahal, Indonesia  negara yang amat kaya raya, bahkan tongkat kayu bisa jadi tanaman. Indonesia kaya dan penuh potensi alam, manusia maupun budaya. Jika pengelolaan yang tepat, harusnya bangsa ini bisa menjadi bangsa besar, makmur, dan sejahtera. Tetapi, pada kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya. Indonesia menjadi tamu di rumah sendiri, sumber daya alam dan ekonomi bangsa  ini dikuasai segelintir orang tertentu saja, sampai yang lebih menyedihkan adalah dikuasai bangsa asing. Masyarakat Indonesia, hanya menjadi “babu” di Negeri tetangga. Hal ini tidak menjadi heran kita, karena beberapa tahun kita hidup dalam praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Mereka yang harusnya punya hak, menjadi tidak punya karena kalah power saja.
      Penyebab utama ketertinggalan negara ini adalah karena menjamurnya korupsi pada berbagai lini kehidpan berbangsa. Korupsi merupakan satu di antara penyumbang terbesar masalah yang dihadapi bangsa ini. Dari berbagai survai yang pernah dilakukan oleh sejumlah lembaga Internasional, Indonesia senantiasa menjadi langganan nomor urut teratas praktik korupsinya. Bukan nomor satu prestasi membanggakan, akan tetapi korupsi. Anehnya, dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan operandi berbeda-beda, sehingga wajar kalau Indonesia untuk korupsinya sudah berada pada level endemic systemic dan widespread.
      Termasuk penyakit bangsa lain, misalnya Indonesia menjadi lahan empuk perdagangan Narkoba. Ini juga karena korupsi yang ada, bagaimana tidak mereka penegak hukum (Lapas/Rutan) masih memberikan para napi Narkoba bertransaksi lewat penjara, sampai oknum petugasnya pun ikut bermain dan menikmati, kalau sudah begini lalu bagaimana generasi bangsa ini mau sehat?! Dari itu, jika korupsi yang ada tidak diatasi dengan lebih serius maka dapat menimbulkan dampak yang masiv pada bangsa ini selanjutnya. Dampak tersebut antara lain, lesunya perekonomian, meningkatnya kemiskinan, akibatnya tingginya angka kriminal, kehancuran birokrasi dan terganggunya sistem politik dan fungsi pemerintahan, serta buyarnya masa depan demokrasi yang baru mulai terbangun.
     Lihat saja bentuk kriminal apa yang belum dilakukan bangsa ini, sampai pada degradasi moral remajanya. Antarwarga gampang tersulut emosi, tawuran antarkelompok, mahasiswa sampai pelajar. Hanya gara-gara sepele, mereka tidak segan saling membunuh. Peran tokoh masyarakat dan tokoh agama, sudah semakin menurun. Akibatnya saling percaya diri tinggi dan mengakibatkan kesombongan, keserakahan, keberingasan dimana-mana. Lalu kalau generasi bangsa ini seperti saat ini, bagaimana generasi selanjutnya?! Dari itu praktik-praktik korupsi harus benar-benar kita kikis habis. Praktik korupsi misalnya juga dalam kasuk pilkada, sering seorang calon memberikan uang untuk memuluskan pencoblosan mereka, memberikan uang agar dipilih warga. Kalau praktik ini sudah dilakukan, maka jangan harap selanjutnya pemerintahannya akan bersih.
     Sekali lagi masyarakat adalah harapan terakhir untuk mengikis habis tindak pidana  korupsi. Masyarakat jangan memberikan peluang, dengan cara mengikuti alur permainan mereka, yang keluar dari jalur dan sistem, harusnya kita berperilaku sesuai sistem dan prosedur, dan jangan pernah takut untuk melaporkan kepada yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan, jika yang lebih tinggi melakukan, ada masih Ombudsman atau KPK.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam di Kemenag Kota Bima dan Anggota PHBI Kota Bima.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Hukum & Kriminal

Kota Bima, Bimakini.- Polres Bima Kota, Selasa (2/3), menggelar acara pencanangan pembangunan zona Integritas, Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani, di...

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.- Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima memastikan tetap akan memberikan perlakuan hukum yang sama terhadap semua tersangka. Termasuk tersangka kasus korupsi. Hal itu...

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.- Hingga saat ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima masih fokus menyelesaikan lima perkara dugaan korupsi. Semua kasus itu dalam tahap penyidikan. Kasi...

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.– Bupati Bima, Hj  Indah Dhamayanti Putri, mengisyaratkan  sanksi bagi empat  anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dana seragam...

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.- Kejaksaan Negeri (Kejari) Bima terus mendalami kasus dugaan korupsi di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 05 Kota Bima senilai sekitar Rp500 juta....