Kota Bima, Bimakini.com.- Hingga Desember tahun 2012, Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia menangani 1.380 kasus tindak pidana korupsi (Tipikor). Berdasarkan data, hingga akhir November 2012, keberhasilan Kejaksaan dalam menangani perkara Tipikor untuk penyelidikan sebanyak 693, penyidikan 1.242, dan penuntutannya sebanyak 1.272 perkara.
Demikian data yang dibeberkan Jaksa Agung RI, Basrif Arief, yang dibacakan Pelaksana Tugas Sementara (PLT) Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima, Pintono, SH, saat upacara peringatan Hari Anti-Korupsi Internasional, Minggu (9/12) pagi.
Pintono mengatakan, dari semua perkara yang ditangani tersebut, Kejaksaan berhasil menyelematkan keuangan negara sekitar Rp292 miliar. Melalui mekanisme perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan juga telah berhasil menyelematkan keuangan negara dan memulihkan (perkara PPH) keuangan negara dengan total nilai sekitar Rp2 triliun dan tanah seluas 120.554 meter persegi.
Selanjutnya, dalam penyelematan keuangan negara ditunjukan oleh satuan tugas (Satgas) khusus penyelesaian barang rampasan dan barang sita eksekusii pada tahun 2011 berhasil menyelamatkan negara sekitar Rp151 miliar, dan pada tahun 2012 sekitar Rp1 triliun.
Dari data itu, jelas Pitono, terlihat signifikansi peningkatan jumlah keuangan negara yang berhasil diselamatkan Kejaksaan. Melalui fasilitas Monitoring Center Kejagung sejak Mei 2011 hingga Desember 2012, telah berhasil menangkap buronan Kejaksaan terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana sebanyak 49 orang.
“Melihat keberhasilan saudara-saudara tersebut saya patut berbangga. Namun, saya tetap berharap saudara-saudara dapat memanfaatkan waktu yang tersisa ini untuk terus berkarya dan menunjukan keseriusan dalam penegakan tindak pidana korupsi, sehingga dapat memupuk kembali rasa percaya dan simpati masyarakat pada lembaga keuangan,” katanya.
Selain itu, katanya, Kejaksaan menyambut positif kehadiran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 73/PUU-IX/2011 tanggal 26 September 2012, tentang pengujian pasal 36 ayat 1,2,3,4, dan 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah diputuskan bahwa pemeriksaan hingga penyidikan Kepala Daerah tidak perlu lagi menunggu izin tertulis dari Presiden.
Untuk itu, diingatkan agar dalam penanganan perkara dilakukan profesional, proporsional dan tidak terburu-buru menetapkan seseorang sebagai tersangka, tanpa didukung data dan fakta lengkap. Apalagi, hanya sekedar karena “motif tertentu”, sehingga mengabaikan aspek hukum yang proporsional serta mengabaikan hati nurani. (BE.20)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.