Paruga Nae, yang kini dibandroli nama keren ‘Convention Hall’ masuk dalam radar sorotan masyarakat. Fasilitas adalah impian bagi pasangan pengantin untuk menandai hari bersejarah dalam kehidupannya Dengan hanya dibandrol biaya Rp1,5 juta, maka album kenangan keluarga muncul di arena itu. Kini berubah drastis.
Sejak beberapa waktu sebelum pertemuan APEKSI Komwil IV dan hingga kini, Paruga Nae sudah jarang menjadi sasaran kegiatan. Sudah menjadi areal elit. Lokasi lain, misalnya GSG Muhammadiyah Bima, menjadi alternatif. Masyarakat pun menggosipkannya pada berbagai tempat. Dalam kesimpulan sementara mereka, tidak lagi ada areal ‘representatif’ yang bisa leluasa digunakan untuk menggarap berbagai acara. Itu menimbulkan persepsi minor setelah sebelumnya mereka menikmatinya.
Soal Paruga Nae ini layak menjadi sisi perhatian. Masalahnya, areal tengah kota nan strategis itu tidak lagi dalam radar jangkauan ekonomi masyarakat, khususnya menengah ke bawah. Apalagi, ada isyarat dari pejabat Pemerintah Kota Bima sebelumnya bahwa metamorfosa Paruga Nae tetap bisa diikuti dinamika bandrol harganya.
Selain untuk memenuhi aspirasi dari bawah, keterjangkauannya terhadap akses masyarakat dari berbagai golongan ekonomi akan menguntungkan dari sisi pendapatan daerah. Pundi rupiah disedot, masyarakat merasakan kenyamanan. Jika pun nanti ada Peraturan Daerah yang mengaturnya, sebaiknya memertimbangkan berbagai aspek, terutama saat menentukan biaya penggunaan.
Kita mengharapkan sorotan publik itu menjadi bahan atensi dalam konteks bagaimana pemerintah menyediakan fasilitas yang bisa diakses dengan biaya terjangkau. Merencanakan pembangunan lokasi lain atau membenahi kelanjutan GOR Mini Raba bisa menjadi solusi. Tentunya, tidak bisa semudah membalik telapak tangan, tetapi setidaknya dalam agenda daftar rencana. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.