Connect with us

Ketik yang Anda cari

Sudut Pandang

Tsunami Moralitas dan Democrazy

Warga Kabupaten Bima yang berdemo pasca-Pilkades. (Dok. SM)

                                                                                                        Muhammad Fikrillah

Akhir November lalu, ada perhelatan pemilihan kepala desa (Pilkades) yang ingin saya intip ujung prosesinya. Lokasinya di kampung saya, wilayah ujung Timur NTB. Selain karena alasan sepupu yang ikut berkompetisi, juga ingin melihat dinamika lain yang mengiringinya. Terutama pada dua aspek, maraknya perjudian dan ancaman harmoni sosial.

Arena Pilkades, sejauh ini, menyimpan banyak sisi yang mendesak dicermati. Demokrasi langsung yang dulu sering diagungkan dalam kerangka membandingkannya dengan cara pemilihan elit melalui perwakilan di legislatif, tidak lagi ideal. Demokrasi ala desa telah dirusak oleh sikap pragmatisme, politik transaksional, dan intervensi komunitas penjudi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa arena Pilkades adalah arena perjudian secara terbuka. Suatu pemandangan miris, karena tidak saja melibatkan kaum dewasa, tetapi juga wanita dan anak-anak. Mereka adalah Muslim.

Lebih ironis lagi, mereka yang sudah ber-haji dan ber-hajjah juga terlibat tanpa perasaan bersalah. Oknum guru pun, kabarnya menjadi pemain. Ekspresi pertaruhan mereka menjadi tontonan publik. Bahkan, ada yang menilai sudah lama menjadi “tuntunan” bagi generasi belia karena terjadi di depan mata bening mereka. Suatu level kemerosotan keteladanan yang parah. Pilkades juga sangat sensitif memicu kerusakan harmoni. Mereka yang berseberangan sikap secara politik tidak dewasa menyikapinya, karena memenggaruhi pola perilaku pada aspek lainnya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Sisi kritis lainnya saat Pilkades di kampung saya itu adalah arenanya hanya berjarak sekitar 100 meter dari perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) desa tetangga. Pilkades dihelat hingga sore hari, sedangkan MTQ pada malam hari. Maaf, saya tidak bermaksud “membenturkan” dua hal yang kontras ini pada satu titik, tetapi bagaimana menjadikannya sebagai bahan reflektif dan ibrah untuk hari-hari ke depan. Meski tidak dalam durasi waktu yang sama, namun dari settingan yang berjarak relatif dekat ini, tetap menggambarkan fenomena patologi sosial yang parah. Telah terjadi praktik massifitas kemaksiatan dan sama sekali tidak mampu dicegah. Mengapa demikian? Sampai kapan? Pertanyaan yang mesti didalami oleh kolektivitas kesadaran ruhaniah kita.

Pergerakan para penjudi tidak saja mewarnai gerak degradasi moralitas sosial, tetapi juga memenggaruhi perolehan suara para calon. Masalahnya, mereka bertaruh tidak hanya ‘duduk manis’ menunggu hasil penghitungan. Mereka bergerilya dengan melepas sebagian nilai taruhan yang bakal diraih jika menang. Mereka diduga kuat membayar warga untuk memilih calon tertentu. Kalaupun ada yang memberi bonus nilai 50 atau 100 kepada lawan taruhan, itu mengisyaratkan ada warga sebanyak itu yang dipengaruhi. Kalau taruhannya Rp10 juta, maka mereka bisa merelakan Rp5 juta untuk memainkan suara.

Dalam level mobilitas warga dan kaum muda melalui beragam teknologi saat ini, kemudahan memenggaruhi massa sangatlah mudah. Dengan kata lain, agresivitas para penjudi adalah ‘pemain tambahan’ dalam kompetisi Pilkades. Kecenderungan arah taruhan mereka berpengaruh terhadap hasil. Soal dinamika pertaruhan ini sudah menjadi konsumsi umum. Lagi-lagi, pemberontakan bahasa protes warga hanya membatin.

Tidak hanya judi beraroma Pilkades, penjudi Toto Gelap (Togel) pun sudah terang-terangan menunjukkan diri. Memang ada sejumlah agen yang dicokok, tetapi itu hanya bagian kecil dari arus hilir. Arus utama di hulu yang menyemburkan percikan pada berbagai areal itulah yang diamputasi pergerakannya. Rasanya, tidak terlalu sulit bagi Intel Kepolisian mengendusnya, karena pembicaraan soal judi kupon putih adalah menu dua atau tiga kali sepekan yang menyeruak di tengah perkampungan. Bukankah mengendus para terduga kejahatan lainnya aparat lincah bergerak? Komitmen aparat di titik ini sangatlah krusial dan ditunggu publik. Dalam sudut tilikan agama, apa yang tersuguhkan adalah rangkaian degradasi moralitas dalam porsi menguatirkan. Tanggungjawab siapa? Ya, kita semua.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Hanya saja, fenomena buruk ini harus segera diakhiri, diamputasi secepatnya. Kemungkaran yang sudah kadung membudaya itu sangat berbahaya bagi bangunan masa depan peradaban. Mesti ada upaya pencegahan, tidak cukup hanya dengan rangkaian imbauan dan saran. Intervensi mereka yang punya kekuasaan diperlukan, mereka yang lihai mendekati masyarakat ditunggu perannya.

Jika sudah tidak ada lagi cara, maka membatin dengan meyayangkannya dalam hati kecil adalah keterpaksaan, meskipun itu selemah-lemahnya iman. Inilah yang disinggung oleh hadis Nabi. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiallahuanhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)

Hadis itu dimaknai bahwa menentang pelaku kebatilan dan menolak kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam terhadap setiap Muslim, sesuai kemampuan dan kekuatannya. Ridha terhadap kemaksiatan termasuk di antara dosa-dosa besar. Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan. Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap Muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.

Saya ingin memungkasi coretan bebas ini dengan menyatakan bahwa kualitas keimanan kita masih dipertanyakan. Maksimalisasi upaya belum serius ditunjukkan. Kita umumnya masih bergerak pada aksi diam atau membatin, tidak maksimal dengan tangan (kekuasaan) dan lisan. Suatu maqam keimanan pada tingkat rendah. Kita tidak berdaya ketika gerilya penjudi secara massif memasuki hingga ruang pribadi.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Massifitas perilaku buruk yang tanpa hadangan kuat dari aparat, ulama, dan masyarakat seperti ini, dalam jangka panjang, akan mereduksi nilai moralitas sosial. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gejala tsunami moralitas sosial telah mencengkram setiap lini kehidupan, bergerak telanjang, dan menari-nari di depan mata jernih kita. Sampai kapan?

Rangkaian panorama buruk itu jelas menggambarkan ada yang perlu direnungi dari demokrasi ala desa itu. Jika kemungkaran di depan pelupuk mata itu masih membudaya pada setiap desa, maka sesungguhnya kita sedang menyemai benih kebangkrutan sosial. Itu praktik ‘democrazy’ atau tontonan kegilaan perilaku masyarakat!

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Puluhan desa di sejumlah kecamatan di Kabupaten Bima, tercatat memiliki potensi tinggi untuk terpapar gelombang raksasa dan paling memomokkan bernama tsunami. Sejumlah...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.- Munculnya nama enam kelurahan di Kota Bima dalam zona daerah berpotensi bencana tsunami, membuat pihak legislator juga angkat bicara. Pemerintah Kota...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.- Pandangan yang menyebutkan wilayah Kota Bima tidak akan terpapar bencana tsunami, nampaknya harus dibuang jauh-jauh. Terlebih belakangan ini bencana diberbagai daerah...

Peristiwa

BERIKUT lanjutan catatan dokter Akbar, relawan bencana Palu yang ditulis dengan gaya bertutur selama berada di Sulawesi Tengah. Matahari cerah menyinari RS Lapangan BSMI...

Peristiwa

UNTUK mengisi waktu luang, dr Akbar kembali mengeluarkan handphone untuk menulis perjalanannya di Palu. Tempat favoritnya yaitu Masjid An Nur Sigi – Palu. Berikut...