Bima, Bimakini.com.- Petani di wilayah Kabupaten Bima khususnya di Kecamatan Soromandi dan sebagian Kecamatan Sape, punya keunikan tersendiri dalam membentengi tanaman dari gangguan ternak liar. Mereka membangun nteli. Susunan batu yang dipasang rapi mengelilingi lahan. Biasanya setinggi satu meter atau lebih. Tidak hanya unik, kemampuan membuat pagar tersebut sudah turun-temurun.
Pantauan Bimakini.com di di desa Bajo dan Punti Kecamatan Soromandi, ratusan batu ukuran sedang dan bongkah tampak tersusun rapi menjulang sekitar satu meter di pinggir ladang, tanpa diikat dengan kawat.
Aziz, petani Soromandi, mengaku setiap hari memantau tanaman dan nteli untuk memastikannya agar tetap kukuh. “Kalau nteli rubuh, maka ternak dengan gampang masuk dan padi dan kedalai yang ditanam sia-sia,” katanya di Soromandi, akhir pekan lalu.
Menurut bapak dua anak ini, kebiasaan membangun nteli sudah ada sejak lama. Bahkan, sebelum orangtuanya lahir, era sebelum penjajahan Jepang atau sekitar tahun 1930-an. Konon, petani waktu itu mendahului dengan beberapa ritual doa bersama, makan kawiri (bubur) dan menyiapkan beberapa sesajian lain.
Katanya, nteli diucapkan petani jaman dulu untuk menggambarkan tumpukan batu yang memagari lahan. “Kalau orangtua dulu percaya ada mahluk halus juga yang kadang mengganggu tanaman dan nteli, sehingga dilakukan beberapa ritual doa selamat. Kalau tanpa doa maka diterpa angin sedikit saja nteli bisa ambruk,” katanya.
Pembuatan nteli dilakukan oleh tiga hingga tujuh orang yang memiliki kekuatan fisik lebih dengan rata-rata waktu dua hingga lima bulan, bergantung luas lahan yang harus dipagari. Untuk luas lahan 2 hektare umumnya menghabiskan waktu hingga 2-3 bulan. “Tidak semua orang bisa membuat nteli, karena dibutuhkan fisik yang kuat dan keahlian khusus. Makanya, ada juga petani yang menggaji ahli pembuat nteli,” ungkap Aziz.
Petani lainnya, Tabri Haris (80), menjelaskan, kebiasaan membuat nteli diwariskan turun-temurun oleh orangtua kepada anak. Ide membuat pagar tradisional tersebut dilatarbelakangi karena banyaknya bebatuan di wilayah Donggo dan Soromandi. Meski hampir minus areal sawah, petani mampu memanfaatkan tanah tegalan setelah membangun nteli. “Dulu petani yang paling pertama tahu cara bangun nteli di Desa Kala- Donggo, baru setelah itu diikuti petani-petani di desa lain,” katanya.
Selain tahan terpaan angin, nteli yang dibangun secara benar seperti orang-orang dahulu juga tahan terhadap serangan babi. Jika pun batu jatuh maka binatang liar itu akan kapok kembali karena tersentak mendengar bunyi nteli yang jatuh. Berbeda dengan jaman dahulu, sekarang untuk membuat pagar model tersebut, petani tidak repot lagi harus mendahului dengan berbagai macam ritual.
Bahkan, katanya jika tidak mampu membuat sendiri bisa menyewa tenaga petani setempat yang sudah biasa mencari nafkah dengan membuat nteli, dengan rata-rata biaya Rp40 ribu hingga Rp50 ribu per hari. “Kalau sekarang hampir tidak ada yang melakukan berbagai ritual apalagi harus doa, yang terpenting sekarang makan banyak maka akan kuat bangun nteli. Membuat nteli juga cukup menyewa tenaga orang sama seperti ongkos buruh, kalau duluh sih hanya 10ribu per hari,” katanya.
Menurut Tabri, hampir seluruh areal tanam di Soromandi dan Donggo terutama untuk jenis tanah tegalan dipagari dengan nteli. Pagar tradisional tersebut lebih dipilih petani karena selain teruji mampu menahan serangan binatang juga lebih murah ketimbang menggunakan jaring kawat
“Hanya orang-orang yang sudah terbiasa saja yang bisa menyusun nteli, kalau nggak biasa pasti batu-batu akan jatuh pas susun apalagi kalau sudah kena angin. Tapi sekarang sudah enak, tidak perlu dicungkil lagi, batu cukup diambil di sungai atau di lahan karena banyak yang muncul di permukaan,” katanya.
Batu yang digunakan umumnya batuan beku asam dan basa seperti diorite dan andesite. Selain struktur yang kompak, hal tersebut karena massa jenis tersebut lebih berat sehingga mampu menahan terpaan angin. Pembuatan pagar nteli disusun dengan ketinggian rata-rata 1-2 meter dengan memerhatikan bentuk, rongga dan ukuran batu.
Umumnya bentuk yang lancip disusun menghadap ke depan atau belakang. Uniknya, sejak dahulu hingga sekarang rata-rata petani tidak pernah menimba ilmu khusus. (BE.17)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
