Jamaah Ansarut Tauhid (JAT) Bima mengirimi paket buku kepada Polres Bima Kota, berikut tiga Polsek lainnya. Buku berjudul Tadzkirah karya pimpinan pusat JAT, Abu Bakar Ba’asyir, di dalam penjara, yang diluncurkan pekan lalu. Isinya adalah nasehat dan pesan-pesan dakwah. Sejak lama, JAT memang kerap “mendakwahi” Polri soal langgam aktivitas dan tindakan-tindakan mereka, khususnya terhadap kelompok Islam, termasuk JAT di dalamnya. Ada sesuatu yang dirasa perlu diingatkan JAT soal pergerakan Kepolisian, khususnya ketika berhadapan dengan umat Islam umumnya.
Dakwah JAT melalui buku itu mendapat percepatan respons dari pihak Kepolisian. Lebih dari yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Raba Bima. Paket itu dikira bom. Tim Gegana bersenjata lengkap “mengguliti” paket itu untuk memastikan tidak ada barang berbahaya atau bahan peledak di dalamnya. Kendaraan Barakuda juga disiagakan. Aroma Siaga Satu dalam gambaran semestinya.
Pada tingkat tertentu, reaksi pihak Kepolisian boleh dibilang wajar saja, dilihat dari pengalaman sebelumnya. Bom yang diselipkan dalam paket buku pernah meledak di Jakarta ketika dibuka oleh aparat Kepolisian. Indonesia pun heboh. Tentu saja pengalaman buruk itu masih membayang dalam memori kolektif korps berbaju coklat, meski ada surat pengantar maksud positif pada paket itu. Selain itu, aroma Siaga Satu yang sebelumnya ditetapkan sendiri oleh pihak Kepolisian untuk Pulau Sumbawa adalah sinyal bahwa pergerakan apapun yang mencurigakan mesti diwaspadai. Dari titik ini, kewajaran itu muncul.
Namun, ada yang menyatakan reaksi itu berlebihan, kepanikan yang tidak terukur. Bentuk ketakutan yang dinilai JAT tidak seharusnya diekspresikan di depan publik.
Pilihan JAT untuk mengirimi buku perlu diapresiasi. Bentuk pilihan dakwah yang menunjukkan bahwa kelompok itu punya variasi dan tidak mengenal kata surut saat menyampaikan sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran. Dakwah melalui tulisan sebenarnya jauh lebih efektif, karena karya buku (tulisan) merupakan hasil perenungan mendalam sang penulis terhadap objek kajian. Ini berbeda dengan dakwah lewat mimbar (pengajin) yang terbatas dalam hal audiens dan durasi waktu. Hanya mereka yang hadir saat itu yang utuh mendengarkannya, itu pun kalau berkonsentrasi penuh. Selain itu, waktu yang digunakan terbatas. Buku hadir dalam konteks yang lebih lengkap. Mereka yang membaca atau mendalaminya lebih banyak dan bisa bertahan dalam waktu lama, selama buku itu terawat.
Jadi, bentuk dakwah seperti itu mesti ditradisikan, sebagaimana yang dilakukan para ulama zaman dulu. Andaikan dulu ulama hanya mewariskan ‘kegarangan’ sikap mereka di atas mimbar saja tanpa diikuti teks yang terkonsepkan, maka garis hubungan dengan kita di masa kini bisa terputus. Bayangkan jika Al-Ghazali, Iqbal, Abul A’la Al-Maududi, Ibnul Qayyim Al-Jauzi, dan Buya Hamka serta ulama besar lainnya hanya meninggalkan pesona kesan penilaian orang sebatas kemampuan vokal, tanpa transkrip buku.
Dari sudut ini, apa yang dilakukan Ba’asyir melalui Tadzkirah—lepas dari kontroversi yang mengiringi sosoknya—merupakan langkah strategis dalam konteks dakwah. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.