Beberapa waktu terakhir, ketersediaan pupuk dikeluhkan oleh para petani dari berbagai kecamatan di Kabupaten Bima. Diburu kemana-mana, tidak ditemukan ‘butiran-butiran halus warna jingga’ itu. Jika pun ada, pasti setelah dilakukan upaya maksimal dengan pembelian berbandrol harga ‘selangit’. Menembus angka Rp150 ribu per sak. Suatu lompatan nominal yang menyebabkan nafas petani terengah-engah.
Kasus kelangkaan pupuk adalah drama pengulangan tahun-tahun sebelumnya. Berulang dan terus berulang dalam siklus putaran tanpa henti dan berujung. Ibarat lingkaran setan. Masalahnya, kelangkaan pupuk ini berbanding lurus dengan pergerakan umur tanaman padi. Jika pasokan pupuk tidak ideal pada start awal seperti ini, maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan pasti ada. Bahkan, bisa lebih buruk jika durasi kelangkaannya lebih lama. Dinas teknis pasti lebih memahami korelasi antara pemupukan dengan pertumbuhan tanaman.
Jika pun kelangkaan stok ini karena cuaca buruk, tentu bisa dimaklumi. Tetapi, jika karena kesengajaan oknum distributor yang memainkan suasana, maka pemerintah dan aparat hukum mesti bertindak cepat. Komunitas petani harus diselamatkan dari kegagalan tanaman padi mereka. Sebagai komunitas mayoritas di daerah Bima, mereka selayaknya mendapatkan porsi perhatian dan pengawalan lebih terhadap kebutuhannya. Toh, itu pun bukan diberikan gratis. Dalam konteks daerah (Negara) agraris, keluhan petani ini sangatlah ironis, karena dalam ritme pengulangan kejadian secara kontinu.
Adakah yang bisa mewakili aspirasi mereka? Ini harus dipertanyakan, karena ketika mereka mendatangi gedung Wakil Rakyat, tidak ada satu pun anggota legislatif yang menemui. Suatu ekspresi suasana terlepasnya hubungan emosional antara duta dengan yang diwakilinya. Kejadian keluhan petani soal pupuk tanpa sambutan anggota DPRD Kabupaten Bima harus diklarifikasi, karena ketidaksigapan mereka mendengarkan aspirasi itu merupakan panorama buruk.
Sekali lagi, kelangkaan pupuk semoga saja karena faktor kondisi alam, bukan disebabkan permainan dan ada yang mencoba ‘mengail ikan di air keruh’. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
