Kepolisian Daerah (Polda) NTB mengirimkan pesan layanan singkat (SMS) kepada masyarakat soal ciri-ciri mereka yang diduga teroris. Agamais, dermawan, dan bersahaja. SMS itu dibuat menyusul status Siaga Satu Pulau Sumbawa dan terulangnya kasus penembakan mati oknum warga yang diklaim oleh pihak Kepolisian sebagai terduga teroris.
Soal ciri ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bima yang menggugatnya. Dari sudut pandang mahasiswa, beberan ciri itu kurang tepat karena bisa menggiring persepsi yang keliru. Hal itu karena tiga unsur itu adalah keharusan (given) dalam pribadi Muslim.
Memang ada klarifikasi dari pihak Kepolisian soal ciri-ciri itu. Hanya ditujukan untuk oknum saja, bukan umat Islam secara umum. Pihak Kepolisian mengidentifikasi bahwa banyak cara dilakukan oleh oknum teroris untuk mengelabui masyarakat, antara lain berpenampilan bersahaja, agamais, dan dermawan. Sebagai upaya mengaburkan diri dari pengamatan masyarakat sehingga tidak dicurigai. Nah, itu konteks yang dimaksudkan Polda NTB.
Namun, dari sisi pandang lain, tetap saja SMS itu mengundang penilaian atau persepsi yang bisa membiaskan makna pesan tersebut. Jika sekarang ada sekelompok komunitas yang bersuara di jalanan soal itu, dapat dimaklumi sebagai implikasi dari ‘kegagalan pesan itu mencerahkan publik’ Mbojo. Kepolisian mesti lebih berhati-hati memilih rangkaian kata yang tepat untuk ‘membumikan’ pesan Kamtibmas. Karena jika memasuki areal sensitif, bisa disalahtafsirkan dan memicu eskalasi gugatan luas. Simak saja bagaimana sudut perbandingan HMI Bima yang menyejajarkan ciri itu dengan sosok Waka Polres Bima Kabupaten yang mereka nilai mewakili kriteria itu. Perbandingan itu tentu saja hanya sebatas contoh. Tidak lebih dari itu. Tetapi, juga merupakan sinyal ‘serangan balik’ sekaligus mengindikasikan bahwa SMS itu memang bias persepsi.
Di luar itu, kita mesti bersepakat bahwa perang terhadap teroris harus dikobarkan. Mereka yang mengumbar kerusakan terhadap fasilitas hingga menyebabkan nyawa orang lain terancam atau hilang, harus diberantas. Selain itu, pelaku kasus teror jangan sampai diidentikkan dengan agama tertentu.
Ke depan, kita mengharapkan sorotan terhadap SMS itu mesti menjadi pintu masuk untuk membangun bahasa komunikasi yang lebih persuasif, efektif, dan meminimalisasi bias persepsi. Semoga. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.