Bima, Bimakini.com.- Isu terorisme dinilai sebaga produk unggulan Negara. Selain itu, isu ini seolah menjadi tabungan, kapan pun bisa diambil atau diseksekusi. Jika serius menangani kasus terorisme, maka bukan dengan Negara menjadi peneror. Demikian dikatakan pengamat terorisme yang juga akademisi STISIP Mbojo Bima, Syarif Ahmad, MSi, kepada Bimakini.com, Senin (7/1).
Tindakan membunuh yang dilakukan oleh kepolisian, terhadap orang yang belum pasti terbukti, dianggap tindakan terror. Pemberantasan terorisme tidak bisa dilakukan secara fisik, dengan membunuh mereka yang belum pasti terlibat. “Saya juga mendapat informasi tentang kejanggalan dalam kasus penembakan hingga tewas lima orang di Dompu,” katanya via hanphone (HP).
Kesalahan yang dilakukan oleh Densus dalam penangkapan orang yang masih diduga, kerap terjadi. Belum lama ini penangkapan 14 orang di Poso, namun akhirnya dilepaskan kembali karena tidak terbukti. “Meski dilepaskan, mereka sudah babak belur. Coba senadainya semuanya ditembak mati, sementara belum jelas terbukti,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, ada pengakuan dari keluarga korban Bahtiar, bahwa yang bersangkutan tidak pernah ke Poso. Sementara kepolisian menuding Bahtiar satu diantara yang melarikan diri dari Poso. “Analisa saya ini justifikasi dari sebuah design global,” katanya.
Penanganan teorisme selama ini, kata dia, seperti perkalian, plus dikali minus, maka hasilnya tetap minus. Mencegah terorisme, namun dengan pendekatan fisik, membunuh orang yang masih terduga. Sementara terorisme menyangkut masalah idiologi, maka yang didekati adalah alam pikir. “Kalau seperti ini, maka Negara mengatasi terorisme dengan melakukan tindakan terror,” ungkapnya.
Berbeda, kata dia, jika konteksnya, yang terduga benar-benar membawa barang bukti untuk melakukan tindakan terror. Namun, jika belum cukup bukti, maka tidak langsung mengeksekusi mati. “Kasus di Makassar yang ditembak mati, ternyata baru pulang belanja,” ujarnya.
Jika seperti ini, kata dia, tindakan yang dilakukan oleh Negara, maka bisa menimbulkan keraguan oleh masyarakat. Antipasti bisa muncul dan menimpulkan simpati orang lain. Jika demikian, maka dengan perkalian, plus kli minus, maka hasilnya minus.
Syarif juga setuju dengan pendapat juru Bicara JAT, Son Haji, yang menuding polisi melakukan tindakan pelanggaran HAM, karena semuanya masih terduga. Apalagi saat ini polisi juga menyatakan siaga satu di wilayah Bima dan Dompu. “Masyarakat tidak merasakan ancaman apapun dengan siaga satu yang dinyatakan aparat. Saya juga heran,” ungkapnya. (BE.16)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.