Kota Bima, Bimakini.com.- Masyarakat Bima saat ini dinilai kian jauh dari nilai-nilai Islam. Ini menjadi tantangan sendiri bagi ulama di Bima. Kemaksiatan terjadi dan menghiasi halaman-halaman koran. Aparatur negara yang tertangkap berjudi, narkoba, peselingkuhan. Selain itu di NTB, Bima menjadi angka tertinggi perceraian, lebih dari seribu kasus per tahunnya, sebagian besar dipicu masalah perselingkuhan. Hal itu diungkapkan oleh Ketua MUI Kabupaten Bima, H Abdurrahim Haris, MA saat acara dialog keagamaan yang diadakan oleh Pusat Studi Konflik Agama dan Budaya (Puskab) NTB, di aula SMKN 3 Kota Bima, Kamis (21/2).
Tidak hanya itu, kata dia, belakangan ini terjadi serangkaian peristiwa, seperti penembakan lima orang oleh Densus 88. Sebelumnya kasus dugaan ledakan di Ponpes Umar bin Khattab (UBK), sehingga kini berimbas pada kurangnya orang tua memasukkan anaknya menjadi santri. “Apalagi jika gurunya berjenggot, takut anaknya menjadi teroris. Ini saya rasakan sendiri, karena punya pondok pesantren,” ungkapnya.
Ironi lainnya juga, kata dia, masyarakat tidak mau menerima ustadz berceramah, jika berjenggot dan celanannya di atas mata kaki. Ini membuat pihaknya di MUI harus turun memberi pencerahan pada masyarakat, bahwa berjenggot itu adalah sunnah. “Demikian juga mengenakan celana di atas mata kaki, bagi yang meyakininya,” ujarnya.
Pemerintah daerah, kata dia, sebenarnya telah memerogramkan jumat khusu’ dan pembunian Alquran. Hanya saja tidak berjalan optimal dan masih terkesan serimonial atau tidak esensial. Misalnya, pembumian Alquran dengan indikator kegiatan khataman massal dan berdirinya Taman Pendidikan Alquran (TPA). “Tapi kalau kita tanya peserta khataman massal, masih ada yang tidak bisa baca Alquran,” ungkapnya.
Namun bagaimana program pembumian Alquran itu tidak hanya sekedar serimonial, namun lebih pada esensi. MUI Kabupaten Bima sudah mengusulkan adanya desa percontohan untuk penerapan pembumian Alquran dan Jumat Khusu’. Desa Panda Kecamatan Palibelo dianggap tepat untuk pelaksanaannya, hanya saja belum mendapat respon.
“Jika kita ingin menerapkan Syariat Islam di Bima, mungkin kita mulai dari satu desa, kemudian meluas menjadi kecamatan dan kabupaten,” ujarnya.
Masyarakat Bima juga, kata dia, sebenarnya memiliki budaya yang dilandasi nilai Islam. Seperti halnya majal labo dahu, namun rasa malu dan takut itu sendiri sudah tidak ada. Apalagi dikalangan pejabat, demikian juga pada generasi saat ini. (BE.16)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.