Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Ironi Politik Menerjang Kota Bima

ilustrasi

Oleh : Al-Farisi Thalib

Dua ribu tiga belas adalah tahun-tahun politik bagi rakyat Indonesia pada umumnya, tidak hanya di yakini sebagai momentum untuk melakukan sosialisasi untuk suksesi Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan wakil Presiden untuk periode 2014-2019, tetapi juga adalah sebagai tahun riak pesta politik untuk pemilukada disetiap daerah-daerah diseluruh nusantara baik di tingkat Provinsi, Kabupaten, Kota bahkan pada tingkat Desa atau Lurah. Lain halnya dengan fenomena maraknya anak-anak muda yang bermunculan untuk mencalonkan diri menjadi calon wakil rakyat (Legislatif), mulai dari rakyat biasa yang tidak paham tentang politik apa lagi tentang mengelola Negara atau pemerintah yang bersifat ketatanegaraan, sopir-sopir angkot, artis-selebritis sampai pada para pengusaha konglomerat hingga pejabat-pejabat politik lainnya.

Demikian adalah sebuah fenomena demokrasi yang fatal karena semuanya ditafsirkan hanya sebatas untuk meraih kekuasaan secara simbolis. Sebuah praktik demokrasi yang tumpah dan telanjang menampilkan kamuflase-kamuflase yang kian kabur sebagai sebuah kebenaran. Sementara makna kepemimpinan tidak lagi menjadi landasan kesadaran perjuangan, pada hal kepemimpinan tidak hanya sebagai sebuah kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran seperti yang dikatakan olehStephen P Robbin (2006: 432), atau sesuatu mengenai mendorong dan membangkitkan individu dan kelompok untuk berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang diinginkanseperti yang dikemukakan oleh Michael Amstrong (1990: 90). Tetapi lebih pada bagaimana menjadi tauladan atau contoh yang baik untuk rakyatnya, sehingga dengan ketauladanan itu dapat menjadikannya sebagai orang yang adil, amanah, bijaksana dan selalu mementingkan kelompok-kelompok yang lemah dari pada kelompok yang hanya mengumpul-ngumpul harta untuk perut besar mereka saja.

Terbukanya ruang demokrasi liberal memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebebasan ini selain menjadi ruang positif, juga menjadi ‘lumpur busuk’ bagi ruang politik rakyat karena kita akan kebingungan untuk melihat mana yang ‘asli’ dan mana yang menggunakan ‘topeng’, sehingga semuanya bercampuraduk antara kebusukan dan kemuliaan; mengatakan demi kepentingan rakyat padahal dusta. Semuanya ditampilkan dengan retorika yang menghipnotis rakyat dengan gaya yang seakan meyakinkan.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Mereka yang awalnya entah datang darimana, tiba-tiba muncul dengan gaya yang meyakinkan lewat spanduk-spanduk serta baliho-baliho besar lengkap dengan tagline masing-masing, dengan janji-janji dan “firman kedustaan” lainnya. Selain itu, sederatan prestasi yang diungkapkan seakan menjadi legitimasi bahwa ‘mereka’ layak menjadi pemimpin yang dapat mensejahterakan rakyat.

Fenomena demokrasi demikian adalah sekaligus sebuah ironi politik yang sedang dipertontonkan oleh para aktor-aktor politik beserta elit penguasa, tanpa ‘merasa malu’ mengumbar-umbar janji dan iming-iming kesejahteraan pada rakyat.

Ironi Politik

Munculnya para figure yang menyatakan siap untuk mencalonkan diri sebagai pasangan Wali Kota Bima untuk masa jabatan 2013-2018, berbondong-bondong mendaftarkan diri pada partai politik yang secara konstitusi politik merupakan kendaraan untuk menjadi kepala pemerintahan secara politik. “Jebolnya bendungan” demokrasi sumbstanisal memberikan stimulus sahwat politik bagi para figure, sehingga dengan ruang demokrasi yang menganga lebar itu menjadi arena bagi para calon untuk ramai-ramai mencalonkan diri dan berkompetisi dengan atraksi dan jurus-jurus politiknya, tercatat sebanyak 7 pasangan calon wali kota yang berkompetisi.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Dari banyaknya kontestan untuk pemilihan Wali Kota Bima periode ini, menjadi bukti besarnya hasrat kuasa yang menjangkiti nurani; 1. Memandang jabatan sebagai kepala daerah adalah jabatan public yang membuatnya sangat popular, 2. Menjadi kepala daerah merupakan kesempatan terbaik untuk menambah pundi-pundi kekayaannya dengan cara menjarah dan menyedot hak-hak rakyat. Sehingga diketahui ada anak dan juga ibunya yang masing-masing maju menjadi calon Walkot.

Adanya dinasti pencalonan menunjukkan sebuah fenomena kerakusan politik yang menjangkit kepala dan hati para elit. Karena jika kita menilai bahwa untuk bisa menduduki kursi kepemimpinan itu harus dengan biaya yang begitu mahal. Mulai dari administrasi parpol, administrasi kampanye, kos sosialisasi, hingga pada money politic. Bagi seorang calon Wali Kota, minimal anggaran yang ia harus sediakan adalah (lebih kurang) lima miliar. Jika ini yang terjadi, maka pemilihan Wali Kota adalah bukan merupakan suara rakyat tetapi tidak lebih sebagai “transaksi politik-kuasa”.

Dapat dipahami bahwa ini memang sebuah praktik demokrasi prosedural, yaitu sebuah praktek demokrasi sebatas menggugurkan sikap kebersamaan, sehingga “ditengarai” atas kebijakan yang diambil sebagai sebuah keputusan bersama. Prosedur-prosedur demokrasi seperti ini hanya sebatas simbolitas-formal semata, sementara esensinya (isi) adalah “bau busuk”. Jika seandainya uang itu di peruntukkan untuk membangun sebuah perusahan rakyat atau perusahaan desa, maka apa yang menjadi filosofi kekuasaan itu akan terwujud, kecuali memang kekuasaan yang di dapat itu tidak di niatkan pada jalan yang baik. dengan kata lain, kampanye politik di arahkan dalam bentuk lain, bukan dengan menampilkan ratusan baliho-baliho besar yang senantiasa mengumbar kedustaan, tetapi dengan cara memasuki gang-gang setiap Kelurahan kemudia memberikan anggaran untuk memperbaiki drainase, pos-pos kamling, memberikan tambahan dana untuk membangun usaha kecil, membiayai kelompok-kelopok kreatif anak-anak muda, atau bahkan mendirikan “perusahaan Lurah” (usaha kecil) dan membiarkan mereka mengelolanya sendiri secara mandiri. Ini akan lebih efektif dapat mengurangi pengangguran, mengasah kreatifitas masyarakat, pemanfatan potensi masyarakat, dan juga merupakan kampanye ril dalam politik tanpa harus mengatur-ngatur bahasa kebohongan untuk menipu warga masyarakat.

Menjamurnya para pengusaha, akademisi dan lain-lain yang terjun pada dunia politik merupakan sebuah fenomena dimana hilangnya legitimisi sosial, mengingat Bima adalah daerah yang menjunjung tinggi budaya “maja labo dahu” (malu dan takut) maka figur kepemimpinan itu bukan dibentuk dengan perantara spanduk dan baliho tetapi merupakan sebuah pengakuan secara sukarela oleh rakyat lewat keteladanan, sumbangsih, integritas, kejujuran, kebersahajaan, kesederhanaan dan keberanian mengatakan kebenaran.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Jika kita menengok kiprah semua calon Wali Kota Bima yang maju tersebut, maka dapat kita sadari lewat kajian-kajian secara intelektual dan dialogis tentang siapa mereka-mereka yang tiba-tiba ‘nongol’ ini, dari rimba kehidupan mana ia berada, apakah pantas mereka memimpin Kota Bima selama lebih kurang 6 tahun kedepan?. pertanyaan-pertanyaan tersebut wajib kita ajukan pada kesadaran nurani politik masing-masing, sehingga siapa yang akan kita pilih tidak semata hanya ‘pilihan lattah’ tetapi merupakan sebuah pertimbangan sadar secara rasional.

Kita doakan bersama, semoga para kandidat yang tampil ini merupakan putra-putri terbaik Kota Bima yang mampu mendobrak zaman sehingga Bima dapat menjadi Kota yang nyaman dan kota terkenal, dimana masyarakat-masyaraktanya yang sejahtera dan aman. Dan siapapun yang terpilih nanti semoga bukan merupakan tipe pemimpin yang “munafik” (lain dikata lain dikerja). Adalah seorang pemimpin yang beramanah dan menggunakan kekuasaannya dengan sebak-baiknya. Wallahu a’alam.

Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik dan Mahasiswa Filsafat Agama; Pemikiran Politik Islam UIN Makassar.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil...

CATATAN KHAS KMA

SAYA belum pernah alami ini: handphone tidak bisa dipakai karena panas. Bukan hanya sekali, Tetapi berkali-kali. Juga, bukan hanya saya, tetapi juga dua kawan...

CATATAN KHAS KMA

CATATAN Khas saya, Khairudin M. Ali ingin menyoroti beberapa video viral yang beredar di media sosial, terkait dengan protokol penanganan Covid-19. Saya agak terusik...

Berita

SEPERTI biasa, pagi ini saya membaca Harian  BimaEkspres (BiMEKS) yang terbit pada Senin, 10 Februari 2020. Sehari setelah perayaan Hari Pers Nasional (HPN). Mengagetkan...

CATATAN KHAS KMA

ADALAH Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial (InSPIRASI) NTB pada 7 Desember 2019 lalu, mencanangkan gerakan Save Teluk Bima. Kegiatan dua hari itu, menjadi heboh...