Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

Imbas Biaya Politik

Kritik soal penetapan  bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) berikut yang beragam biayanya, terus mengalir. Untuk level Dewan Perwakilan Rakyat, disebut-sebut mencapai angka Rp10 miliar. Suatu nominal besar yang dianggap akademisi sebagai keriangan politik yang tidak sehat dan jauh dari unsur mendidik. Keprihatinan itu antara lain diungkapkan pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Iberamsjah.

Politik dan uang memang sejoli. Memang tidak bisa hanya bermodaklan dengkul saja ketika mengarungi rimba perpolitikan. Tetapi, ketika nominalnya mencengangkan, maka ada sesuatu yang mesti direfleksi dari titik itu. Dari itu pula, semakin menguatkan keluhan publik bahwa   menjadi anggota legislatif bukan berdasarkan amanat dan profesionalisme, tetapi karena kepemilikan uang.
Imbas yang bisa diterka adalah—seperti persepsi masyarakat selama ini, bahwa mahalnya ongkos politik tersebut bisa melahirkan benih-benih koruptor baru.  Logikanya jelas, investasi yang dilakukan memaksa seseorang melakukan berbagai  cara untuk mengembalikannya. Praktik yang bisa terlihat sesuai fakta Pengadilan adalah menjadi calo proyek, calo anggaran, calo pegawai, dan beragam anasir jahat lainnya. Jika kondisi ini tidak segera diatasi, mulai dari mekanisme perekrutan, maka jebakan Pemilu apapun akan menjadi media berbahaya bagi pengeroposan mentalitas anak bangsa. 
Kegundahan Iberamsyah juga diekspresikan oleh Jamaah Ansharut Tauhid NTB, melalui ustaz Asikin. Sekarang ini, katanya, praktik korupsi pada berbagai lini pemerintahan telah marak dan dilakukan tanpa ada perasaan risih dan malu. Menggarong uang Negara (rakyat) sebanyak yang bisa dilakukan, urusan apakah diketahui orang atau tidak, soal belakangan. Aspek yang mendesak adalah memenuhi libido nafsu korup sepuasnya—suatu bentuk degradasi moralitas yang menguatirkan. Simak saja, ratusan politisi, mantan penguasa, dan 100 lebih Kepala Daerah terjebak kasus korupsi. Jumlah itu yang diproses hukum, belum lagi yang tidak terperangkap.

Kita mengharapkan segera ditemukan mekanisme baru yang lebih memungkinkan gelanggang politik lebih nyaman, murah, dan beradab karena merupakan pintu untuk menyeleksi figur yang mendiami komunitas elit. Apa jadinya bangsa ini jika mekanisme perekrutan berbandrol biaya mahal itu justru menjadi start awal lahirnya benih-benih koruptor baru. Sedemikian burukkah makhluk bernama ‘politik’ itu? (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Opini

Oleh: Ahmad Ada yang menarik dari Pilkada Kabupaten Bima. Keterlibatan kelompok yang mengatasnamakan dirinya Gerakan Masyarakat Pemilih Cerdas (Gema-Pis) dan Rumah Cita. Seperti diberitakan...

Politik

Kota Bima, Bimakini.com.- Eskalasi suhu politik prosesi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Bima, bukan saja dirasakan warga wilayah setempat. Tetapi, berimbas dan berpengaruh...

Politik

Bima, Bimakini.com.- Kampanye terbatas tahap  kedua di Kecamatan Langgudu,  Minggu (11/10/2015), dilakukan pasangan calon (Paslon) Bupati/Wakil Bupati Bima, Syafrudin- Masykur (Syukur). Didesa setempat, mereka...

Politik

Bima, Bimakini.com.-  Dugaan keterlibatan oknum PNS lingkup Pemkab Bima dalam politik praktis Pilkada Kabupaten Bima, mendapat atensi. Meski sebelumnya Pj. Bupati Bima, Drs.Bachrudin menegaskan...

Politik

Bima, Bimakini.com.-      Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bima, Bima, Indah Damayanti Puri-Dahlan  dalam upaya memajukan taraf ekonomi rakyat akan menggenjot pembangunan infrastruktur, pertanian, dan...