Bima, Bimakini.com.- Mengapa harus ada pelantikan Sultan ke-16 Bima saat sekarang? Pertanyaan inilah yang diajukan oleh sebagian kelompok masyarakat dan kini menjadi bahan perbincangan. Rupanya, Ketua Majelis Adat Bima, Dr. Hj. Siti Maryam Salahuddin, SH, juga sudah membaca arah pikiran publik seperti itu. Saat Diskusi Publik bertema membedah penobatan Ferry Zulkarnain sebagai Sultan ke-16 Bima ditinjau dari berbagai aspek, Ina Kau Mari—panggilan akrabnya—menjelaskannya.
Dia mengatakan dulu kerajaan Bima dibentuk karena adanya pergolakan rakyat yang diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, yang pada akhirnya dimenangkan oleh kerajaan Bima. Dibentuknya kerajaan atas dasar kesepakatan para ncuhi. Mengapa harus ada pelantikan Sultan Bima sekarang ini, karena memang secara simbol daerah kerajaan Bima tidak ada sejak Sultan Abdul Kahir.
“Ferry Zulkarnain, dilantik jadi Raja adalah untuk menjalankan kewajibannya sebagai keturunan langsung kerajaan, maka perlu dilantik Sultan Bima, tentunya dengan garis keturunan yang memiliki trah kerajaan,” ujarnya di aula PKK Kabupaten Bima, Kamis lalu.
Soal terbentuknya Majelis Adat Dana Mbojo, katanya, untuk menjaga dan melestarikan adat- istiadat, tradisi, dan nilai-nilai budaya yang luhur. Termasuk diantaranya melaksanakan tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan upacara adat Hanta Ua Pua dan melaksanakan pelantikan Sultan Bima sekarang, untuk melanjutkan warisan budaya dan adat-istiadat secara turun- temurun.
Secara kepemerintahan, lanjutnya, Kesultanan Bima memiliki wilayah tersendiri yang bergerak pada bidang budaya dan adat-istiadat yang berbeda dari Pemerintah Daerah Kesulatanan Bima memiliki struktur tersendiri dan memiliki aturan yang telah diwarisi sejak Sultan Abil Khair Sirajuddin pada masa memerintah tahun 1608-1682. “Dalam acara penobatan Sultan Bima tanggal 4 Juli nanti, kalaupun ada anggaran dari Pemerintah Daerah itu hanya bantuan sosial yang memang dianggarkan untuk kegiatan-kegiatan sosial,” ungkapnya.
Narasumber lainnya, Syarif Ahmad, M.Si, memberikan pandangan dari sudut politik. Katanya, penobatan Sultan Bima merupakan peristiwa budaya “Kesultanan merupakan sumber budaya di tengah masyarakat, Sultan sebagai sumber integritas yang merupakan simbol kebudayaan, bukan bagian dari rentetan pergulatan politik,” ujarnya.
Namun, dia tidak mengomentarinya dari sisi hokum dan sejarah. “Kalau secara eksplisit tentang hukum maupun sejarah Bima, saya tidak berhak memasuki wilayah itu karena ada yang lebih paham soal itu,” katanya.
Pandangan berbeda diungkapkan oleh Muslimin Hamzah, S.Pd. Dia mengatakan pelantikan Sultan Bima merupakan praktik feodalisme untuk melanggengkan kekuasaan keluarga Ferry Julkarnain. Pelantikan tersebut penuh nuansa politis.
“Pelantikan Ferry Julkarnain sebagai sultan Bima hanya untuk melanggengkan kekuasaan dinasti Ferry saja, tanpa memikirkan pengorbanan berbagai pelaku sejarah pada daerah lainnya di Bima,” ujarnya.
Selain itu, katanya, dasar pelantikan Sultan karena memang sebelumnya Ferry Zulkarnain telah dinobatkan menjadi Putra Mahkota (Jenateke), “Penyebutan Jenateke kenapa harus saat ini baru muncul, Jenateke itu tidak ada saat ini. Jenateke itu muncul saat Abdul Kahir saja. Jadi tidak ada Jenateke selanjutnya,” katanya.
Diskusi Publik itu diselenggarakan oleh NTB Center dan diikuti oleh peserta dari berbagai elemen. Namun, di antara peserta sempat tegang. Panitia dan moderator pun kewalahan menengahi. Untungnya, kejadian itu tidak meluas. (K09)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.