Bima, Bimakini.com.- Wakil Ketua MUI Kabupaten Bima, H Abdul Azis H Anwar, mengatakan radikalisme itu tidak ada dalam Islam, yang ada adalah fanatisme. Yang salah adalah fanatisme buta.
“Istilah radikalisme dan terorisme sendiri muncul dari barat. Stigma itu seolah hanya diarahkan pada Islam saja. Dalam Islam itu ada istilahnya Tabayyun. Kita perlu meneliti bagaimana munculnya istilah radikalisme dan terorisme itu. Apakah paham itu benar atau salah,” ujarnya saat dialog agama PUSKAB NTB dengan tema “Mengurai akar radikalisme di Bima,” di aula SMKN 3 Kota Bima, Sabtu (15/6).
Terorisme itu sendiri, menurutnya, adalah jebakan. Termasuk tentang adanya pemahaman yang keliru mengenai Rahmatan Lil Alamin, yakni ketika hal itu hanya diperuntukkan ke orang lain.
Sementara itu, kata dia, terorisme sendiri adalah bagian dari keputusan asaan seseorang. Bukan merupakan ajaran Islam. Namun ketika hal itu dilakukan oleh orang Islam, maka dicap teroris. Contoh keputusasaan itu adalah, apa yang terjadi dengan rakyat Palestina dengan Israel. Mereka melakukan berbagai upaya perlawanan. Karena sudah maksimal dan kadang tidak berhasil, sehingga menempuh berbagai cara. Itulah bentuk keputusasaannya.
“Kondisi hari ini tidak demikian, radikalisme dijadikan senjata untuk melawan Islam itu sendiri untuk membantu agenda barat,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, MUI dibebankan dengan istilah Radikalisme dan Terorisme. Dalam kondisi ini MUI memiliki peran dalam rangka menangkal pemahaman itu. Yakni, dakwah sesama muslim. Dakwah seperti biasanya. Kedua, pendekatan Ilahiyah. “Istilah ini mungkin masih asing. Namun inilah yang kami tawarkan dan lakukan sebagai pendekatan dalam mengatasi berbagai persoalan sosial,” ujarnya.
Contohnya, ketika muncul konflik antar kampung, Roi dan Roka. Dadi Bou dan Kalampa, Samili. Masyarakat mengalami kebingungan, sehingga MUI mengajak mereka untuk kembali pada ajaran agama dalam menyelesaikan persoalan. (BE.16)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.