Kota Bima, Bimakini.com.- Ruang dialog antar-kelompok Islam perlu terus dibuka. Dengan adanya dialog, maka satu sama lain bisa saling mengisi dan termasuk untuk meningkatkan ukhuah Islamiyah. Agar tidak pula gampang menuduh atau menyalahkan kelompok lainnya. Hal itu dikatakan Direktur Puisat Studi Konflik Agama dan Budaya (Puskab) NTB, Muhammad Tahir, Irhas, SAg, MPd, saat dialog agama dengan tema “Mengurai akar radikalisme di Bima,” di aula SMKN 3 Kota Bima, Sabtu (15/6).
“Kami dari Puskab NTB berharap agar momen seperti ini terus berlanjut. Karena bisa menjadi ruang untuk bersama menimba ilmu, bertukar pengetahuan dan juga bertukar pengalaman. Moment ini juga bisa menjadi ajang silaturrahmi, untuk saling mengingatkan dalam dakwah,” kata Tahir.
Apalagi, kata Tahir, belakangan ini kerap muncul fenomena sosial, yang menyudutkan Islam. Seperti aksi terorisme dan bunuh diri yang terjadi baru-baru ini di Poso. Apalagi ada kecenderungan menjeneralisir semua tuduhan kepada umat Islam. “Saya secara pribadi dan lembaga prihatin dengan fenomena sosial yang terjadi saat ini. Apalagi ada kecenderungan mengeneralisir tuduhan kepada umat Islam,” katanya.
Dosen STKIP Bima ini juga mengajak untuk tidak saling memusuhi antar-satu dengan lainnya. Apalagi perbedaan yang timbul sumbernya dari akal manusia, karena sifatnya sangat relatif. “Tidak menganggapnya sebagai paham absolud. Kebenaran absolud itu hanya datangnya dari wahyu Allah SWT,” ujarnya.
Sementara itu, Syarif Ahmad, MSi, mengatakan ada kesalahan berfikir tentang makna radikalisme. Padahal jika dilihat dari akar katanya, radikalisme bermakna positif. Namun kini cenderung dianggap sebagai sesuatu yang harus dimusuhi. “ Berbicara tentang radikalisme, kita terjebak dalam cara berfikir. Termonologi tentang radikalisme selalu dilekatkan dengan istilah negatif. Seolah radikal itu adalah barang kotor dan benang kusut yang harus diurai atau sesuatu yang harus dijauhi,” kata Dosen STISIP Mbojo ini.
Dijelaskannya, secara epistimologi, radikalisme itu berasal dari kata Radik. Artinya radikal, dasar atau fundamental. Lantas dalam perkembangannya mengalami inbjeksi ilmu pengetahuan.
Syarif juga menyampaikan kritik terhadap kelompok Islam, terutama dalam gerakannya. Termasuk ketika menganggap demokrasi itu haram dan hanya akan melaksanakan syariat. Sementara ruang perjuangan, tetap menggunakan sistem itu, maka akan sulit mewujudkannya. “Harus masuk dalam sistem demokrasi itu, nanti bisa mewarnainya dengan apa yang dicitakan,” ungkapnya.
Wacana tentang penegakan syariah Islam, kata dia, saat ini dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan cara eksklusif. Tidak membuat ruang untuk berdialog dengan kelompok lainnya. “Termasuk soal perdebatan menerima atau menolak demokrasi. Perlu ada perubahan paradigma, menjadikan demokrasi sebagai jalan untuk mencapai tujuan. Gerakan penegakan syariat Islam oleh kelompok sebelumnya menemukan kegagalan,” ujarnya.
Ketua Hizbuttahir Indonesia (HTI) Kota Bima, Muhammad Ayyubi, setuju jika radikal itu memiliki makna positif. “Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Radikal artinya 1 secara mendasar (sampai kpd hal yg prinsip): perubahan yg mendasar ; 2 Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3 maju dalam berpikir atau bertindak,” jelasnya.
Dikatakannya, setiap agama mendorong dan mengajarkan setiap pemeluknya untuk radikal dalam memegang prinsipnya agamanya. Kondisi hari ini, istilah radikal menjadi senjata yang dipakai menghantam agama Islam untuk memuluskan agenda negara besar, seperti Amerika Serikat.
“Upaya barat saat ini membangun Islamophobia. Menghalangi penerapan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Yang akan menyatukan Seluruh dunia Islam,” ujar Ayyubi.
Hasil Riset PEW, kata dia, 72 persen Muslim Indonesia mendukung hukum Islam sebagai hukum resmi negara ini. Syariah Islam adalah seperangkat hukum yang dalam rangka mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dirinya dan sesama manusia. (BE.16)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.