Bima, Bimakini.com.- Potensi konflik yang terjadi di wilayahb Bima disebabkan beberapa hal atau isu. Pertama, masalah pertambangan, Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Kepala Desa, kebijakan pemerintah, juga minuman keras. Efek konflik yang paling besar yang terjadi di Bima adalah terkait pertambangan, dengan contoh kasus kebijakan izin ekplorasi tambang di Lambu hingga memicu pembakaran kantor Pemkab Bima.
Untuk itu, Pusat Studi Konflik Agama dan Budaya (PUSKAB) NTB, akan menggelar diskusi publik yang dirangkai dengan buka puasa bersama, Jumat (26/7) di aula SMKN 3 Kota Bima. Kegiatan bertema “Mereduksi Gerakan Radikalisasi Upaya Terwujudnya Harmonisasi Masyarakat di Bima” menghadirkan pembicara, akademisi Syarif Ahmad, SE, M.Si, Kepala Bakesbangpolimnas Kabupaten Bima, Drs. Syafrudin dan Drs. Syech Faturrahaman, MH, dan Kapolres Bima Kota, AKBP Kumbul KS, S.IK, SH.
Kegiatan ini menurut Ketua Panitia Idhar, S.Pd, untuk melihat bagaimana pola gerakan yang dilakukan oleh kelompok gerakan radikalisme kiri antara pro dan anti-demokrasi. “Melihat bagaimana pola komunikas yang dibangun pemerintah dalam merespon setiap gerakan yang terbangun di tengah masyarakat,” ujarnya di kantor Puskab NTB, Kamis (25/7).
Direktur Utama Puskan NTB, Muhammad Tahir Irhas, S.Ag, M.Pd, mengatakan jika melihat peristiwa “ Bima Berdarah” pada tanggal 24 Desember 2011 berawal dari penolakan dari warga di tiga kecamatan, yakni Sape, Lambu, dan Langgudu. Bermula dari kekuatiran warga dari kecamatan tersebut akan dampak negatif dari kehadiran PT Sumber Mineral Nusantara terhadap produktivitas pertanian warga yang mayoritas menanam bawang.
Reaksi pun muncul dari masyarakat dan mendatangi kantor Kecamatan Lambu. Awalnya, aksi damai, namun berbah menjadi rusuh, hingga pembakaran kantor kecamatan. Tuntutan masyarakat saat itu adalah bagaimana izin tambang dicabut oleh Kepala Daerah.
Namaun, kata dia, ada fakta terdapat kelompok pemuda atau mahasiswa yang mengatasnamakan organisasi kemahasiswaan menilai bahwa akar pesoalan dari berbagai macam konflik di daerah-daerah penghasil tambang tersebut adalah kebijakan pemerintah yang memihak kepentingan pemodal. Kelompok inilah yang membangun kesadaran masyarakat tentang ancaman tambang, yang berjung pada gerakan massif.
Untuk meminimalisasi gerakan radikal yang berujung pada anarkis, maka perlu terus dibangun ruang dialog. Apa yang menjadi keiinginan pemerintah dan juga harapan rakyat. Terputusnya jalur komunikasi dapat menjadi pemantik dan ruang kelompok tertentu memanfaatkannya. (BE.16)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.