Kota Bima, Bimakini.com.- Deretan peristiwa besar dan konflik yang terjadi di Bima kian memunculkan stigma negatif publik luar bahwa di daerah ini tumbuh subur paham radikal. Namun, pada beberapa kasus seperti kerusuhan di Pelabuhan Sape akhir 2011 lalu dan pendudukan Bandar Udara Muhammad Salahuddin dinilai bukanlah gerakan radikal yang berbasis ideologi.
Demikian pendapat Pengamat Sosial Syarif Ahmad, M.Si, saat Diskusi Publik bertema Mereduksi Gerakan Radikalisasi, Upaya Terwujudnya Harmonisasi Masyarakat di Bima yang diadakan Pusat Kajian Sosia Budaya (Puskab) Bima NTB di aula SMKN 3 Kota Bima.
Menurut Kandidat Doktor Universitas Indonesia ini, menganalisis gerakan yang muncul di Bima mesti diawali dengan melihat dasar persoalannya sebagaimana asal kata radikalisme yang berarti akar. Dalam tinjauan teoritis, kecenderungan peningkatan intensitas radikalisme gerakan massa dalam konteks wilayah di Indonesia, khususnya di Bima dinilai masih dilandasi oleh pilihan strategis dan mulai bergerak menjadi ideologis, meskipun belum terkonsolidir secara kuat.
Katanya, untuk menganalisis apakah gerakan massa tersebut memiliki landasan ideologis atau tidak, terdapat beberapa variabel yang dapat digunakan. Di antaranya latarbelakang dan motivasi keterlibatan aktor penggerak massa, wadah perjuangan (kelompok) yang digunakan dalam mengorganisir massa, isu ataupun slogan-slogan dalam melakukan aksi, serta sponsor yang terlibat atau mendukung aksi tersebut.
Sponsor yang dimaksud, kata Syarif, yakni pihak yang memiliki kepentingan dalam gerakan tersebut yang saling memanfaatkan antara kelompok gerakan dengan kepentingan yang ingin dicapainya. Hal ini dapat diamati dari beberapa kasus gerakan massa yang menonjol di wilayah Bima, khususnya gerakan massa yang melahirkan tindakan-tindakan kekerasan, perusakan (anarkisme), maupun bentrok dengan aparat keamanan.
Dalam gerakan massa tersebut, sambungnya, juga menggunakan strategi dan taktik dalam memobilisasi massa di tengah masyarakat untuk memerjuangkan aspirasinya menuntut perubahan, bahkan mengeritisi atau “melawan” kebijakan pemeritah yang dinilai tidak prorakyat.
Dari sisi substansi atau isu yang diusung, katanya, gerakan massa di Bima juga cenderung dilakukan sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap berbagai permasalahan sosial, politik, dan ekonomi, kelemahan supremasi penegakan hukum, kelemahan fungsi legislatif dalam menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat. Artinya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sikap dan perilaku aparat penegak hukum, hilangnya kewibawaan pemerintah daerah di tengah masyarakat, pudarnya
kharisma tokoh masyarakat/tokoh agama, dan diperparah dengan rendahnya SDM dan kesadaran hukum di tengah masyarakat.
Dijelaskannya, hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh berkembangnya pemahaman hak-hak sipil dan politik masyarakat tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menyampaikan pendapat, maupun kebebasan mendapatkan hak-hak politik dan ekonomi yang didukung oleh Undang-Undang.
Kesimpulannya, menurut Syarif, gerakan aksi masa di Bima yang sedang berlangsung dari pilihan strategis menuju ideologis di tengah masyarakat. Bukanlah tindakan yang bijak adalah menyalahkan rakyat secara total, jika ideologi radikalis menjadi salahsatu instrumen pilihan strategi warga negara ketika merebut dan memperjuangkan apa yang menjadi hak-hak dasar yang seharusnya dipenuhi oleh negara.
“Sebab negara dianggap sudah tidak mampu lagi memroduksi tata nilai ke-Indonesia-an yang benar sesuai dengan falsafah hidup berbangsa dan bernegara,” ungkapnya.
Syarif berpendapat, aksi massa yang destruktif ditandai adanya pembakaran, perusakan sejumlah kantor pemerintah, rumah dinas dan kendaran serta pemblokadean akses atau jalan, Bandara dan Pelabuhan untuk kepentingan publik bisa dikatakan merupakan Mobokrasi atau kekuasaan yang dikendalikan kerumunan (massa). Mereka secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi penuh destruksi untuk memaksakan keinginannya.
“Hal itu terjadi karena mereka tidak mengerti atau tidak memahami dan atau bisa juga tidak percaya lagi terhadap tata aturan yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” tandasnya.
Polres Bima Kota melalui Kepala Satuan Inteligen, AKP Satya Wijatino, menjelaskan, bahwa berbagai upaya telah dilakukan Kepolisian guna mengeliminasi muncul dan tumbuhnya gerakan radikal atau kekerasan di Bima. Di antaranya, melalui program pendekatan persuasif kepada masayarakat dan kelompok ormas Islam.
Dicontohkannya seperti melaksanakan program rutin safari Jumat. Dalam kegiatan itu Kapolres dan jajarannya dengan menunjuk personel Polri untuk menjadi Dai Kamtibmas. Dai yang dipilih me
njadi khatib ibadah shalat jumat pada beberapa mesjid di wilayah hukum polres Bima Kota, mengangkat tema permasalahan Kamtibmas, di antaranya permasalahan radikalisme. (BE.20)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.