Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Bertanya Pada Demokrasi Kita

ilustrasi

Oleh: Erham Khirkahi, SH

GONG perhelatan akbar pesta demokrasi Pemilukada Gubernur/Bupati/Wali Kota berlangsung riuh selama tahun 2013 ini, hingga puncaknya pada tahun 2014 pemilihan umum anggota legislatif (Pileg) dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)  mendatang. Demokrasi sejatinya merupakan alternatif politik. Namun, belakangan muncul keluh-kesah bahwa demokrasi kini seolah menjadi malapetaka, ironisnya “makhluk” yang bernama demokrasi telah melahirkan kegaduhan, penyelewengan dan anarkisme baru yang mengatasnamakan demokrasi.

Jamak diketahui suara rakyat mudah dibeli dengan segepok uang yang jamak disebut “money politics” sederatan keraguan, ocehan, dan comoohan dialamatkan kepada demokrasi kita. Misalnya saja, orang berbuat baik untuk menolong sesama, membantu pembangunan tempat ibadah. Namun, apa yang diberikan itu sangat disayangkan karena pemberian tersebut tidaklah netral dari kepentingan politik, sehingga kemudian melahirkan istilah baru dalam kamus politik orang awam yakni beras politik, semen politik, bahkan tidak terbilang lagi banyaknya tuduhan bernada sinis terhadap praktik demokrasi di Indonesia dewasa ini.

Demokrasi sering dilawankan dengan otoriter/diktator. Kedua istilah tersebut, sebenarnya mengandung pengertian ambigu. Dalam berbagai literatur, banyak ditemui perbedaan antara demokrasi normatif dan demokrasi empiris yang belum tentu berjalan seiring. Apa yang secara normatif-konstitusional demokratis belum tentu demokratis pula dalam kenyataan empris-nya.

Amien Rais mengemukakan bahwa para ilmuwan politik telah lama mengingatkan adanya perbedaan antara format dan substansi demokrasi yang harus dilihat secara jeli agar kita tidak terkecoh oleh penampilan. (Moh. Mahfud, MD: 2010, 11). Suatu sistem politik dapat saja kelihatan demokratis tetapi esensinya sebenarnya otoriter. Bahkan, Negara-negara yang sangat otoriter sekalipun dapat mengelaim dirinya sebagai Negara demokrasi karena pemerintahannya yang otoriter justru dibangun untuk melindungi kepentingan rakyat. Demokrasi dalam artian yang demikian tidak diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan dikurangi menjadi sekadar pemerintahan untuk rakyat sehingga rakyat sekadar dipersilahkan menikmati hasil atau kemanfaatannya. (Moh. Mahfud, MD: 2010, 11). 

Satu di antara kelemahan yang paling mendasar yang sering diungkapkan mengenai “makhluk” yang bernama demokrasi adalah bahwa sistem demokrasi terlalu mengandalkan diri pada doktrin universal dengan berprinsip pada suara mayoritas sesuai doktrin “one man one vote”. Pihak  mana yang paling banyak suaranya ialah yang paling menentukan keputusan. Doktrin universal demokrasi semacam itu identik dengan sistem kapitalis dalam dunia bisnis yang mengutamakan prinsip “one share one vote”. Siapa yang paling banyak memiliki saham, ialah yang menentukan keputusan. Padahal, mayoritas suara belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan.

Demokrasi seakan tidak pernah keluar dari cercaan, karena memang konsep demokrasi yang dijewantahkan melalui mekanisme Pemilu dan Pemilukada menggunakan model demokrasi agregasi ketimbang model demokrasi deliberasi. Model demokrasi agregasi memandang kehendak umum sebagai penjumlahan dari kehendak individu sehingga suara terbanyak menjadi patokan kehendak umum. Artinya, yang dibutuhkan hanya dukungan suara pemilih individu sebanyak-banyaknya tanpa harus memandang dari kelas mana mereka berada, karena semakin banyak dukungan suara yang diperoleh, maka semakin besarlah peluang memenangi pemilihan.

Sebaliknya, model demokrasi deliberasi, tidak memandang kehendak umum sebagai agregasi kehendak individu. Artinya model demokrasi deliberasi meyakini bahwa individu dengan beragam keinginan dan kepentingan mampu mencapai konsensus tentang apa yang baik, indah dan benar. Demokrasi model ini lebih mengedepankan etika politik atau dalam istilah Jurgen Habermas menerjemahkan ke dalam prinsip “etika diskursus”. Etika diskursus memastikan bahwa kebijakan diterima bukan karena keinginan mayoritas, melainkan oleh argumentasi imparsial.

Selain itu, praktik demokrasi di Indonesia praktis lebih banyak dinikmati oleh elit, ketimbang rakyat. Kondisi semacam itu telah membuat banyak orang tidak percaya lagi pada sistem politik demokrasi, sehingga demokrasi mengalami distorsi, degradasi, dan krisis kepercayaan (distrust). Bung Karno telah mengingatkan tentang lima macam krisis yang bisa mematikan. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat keuasaan Negara (legislatif, eksekutif, yudikatif); ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau; keempat, krisis moral; dan kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).

Selanjutnya Bung Hatta, mengemukakan “Apa yang terjadi sekarang adalah krisis dari pada demokrasi”. Mahfud MD menambahkan sebagaimana ia mengutip pendapat Bill Liddle, pengamat politik dari Illinois University AS, menegaskan bahwa demokrasi justru menjadi instrument baru untuk mencuri uang rakyat/Negara. Ia lantas menengarai tiga hal penting yaitu pertama, bergesernya demokrasi menjadi oligarki. kedua, oligarki diikuti maraknya perilaku koruptif; ketiga, demokrasi lebih dinikmati oleh elit politik, dan bukan dinikmati oleh rakyat.    

Jamak diketahui bahwa problema demokrasi yang kita bangun baru pada level demokrasi prosedural belum memenuhi harapan rakyat. Ruang politik yang bernama demokrasi dilembagakan dengan sistem pemilihan umum Pileg, Pilpres dan Pemilukada yang hanya dijadikan sebagai arena perebutan kekuasaan para elit politik. Belum lagi, sistem kepartaian kita yang masih terfragmentasi dan tidak mampu menghasilkan pemerintahan yang stabil dan membentuk sistem politik yang lebih responsif pada kepentingan rakyat. Elit politik yang bercokol di Partai politik kerapkali melukai hati rakyat atau dalam terminologi hukum disebut dengan mencederai rasa keadilan masyarakat dengan memperkaya diri sendiri, kelompok dan golongan secara imparsial.

Akibat pelaksanaan Pemilukada, dan Pileg, dan Pilpres  hampir tidak ada waktu lagi bagi para elit memikirkan nasib rakyat, elit politik sibuk memikirkan strategi merebut kursi kekuasaan. Selain itu, praktik demokrasi yang diikuti dengan maraknya praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) serta suap-menyuap yang tidak kunjung surut, bahkan tidak sedikit orang yang berada dilembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang terjerat kasus hukum semakin menambah panjang persoalan bangsa. Bahkan, perilaku koruptif yang demikian Buya Ahmad Syafii Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah mensinyalir “bahwa korupsi di negeri ini sudah jauh melampui batas toleransi, tidak ada yang meragukan, tetapi bagaimana melawannya, kita belum menemukan cara yang paling efektif. Korupsi telah menggurita kemana-mana. Tanpa keberanian luar biasa, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mengucapkan sayonara kepada perbuatan hitam yang bernama korupsi itu.(George Junus Aditjondro:2010).

 Pemilu legislatif, pilpres terlebih lagi Pemilukada secara langsung justru melahirkan konflik horinzontal yang tidak ada henti-hentinya, beberapa daerah yang telah melaksanakan Pemilukada ditahun 2013 ini mengalami ketegangan, eskalasi konflik semakin meluas di tingkat masyarakat bawah yang pada umumnya mereka sebetulnya dimobilisasi dan diprovokasi oleh elit tertentu. Hal ini memang sangat mudah dilakukan karena simpatisan dan pendukung dalam proses demokrasi ialah masyarakat ekonomi menengah kebawah yang notabene yang masih dihinggapi persoalan kemiskinan atau hidup dengan kondisi yang serba kekurangan, dalam realitasnya, kondisi keterbatasan yang dialami oleh masyarakat ekonomi menengah kebawah menjadi faktor yang berpengaruh langsung terhadap perilaku pemilih dalam merespon gerak politik demokrasi yakni Pileg, Pilpres, dan Pemilukada rendahnya tingkat pendidikan; rendahya tingkat pendapatan; serta rendahnya status pekerjaan berdampak pada tindakan dan perilaku politik yang beorientasi bukan berdasarkan visi misi dan program-program yang populis yang ditawarkan akan tetapi lebih pada visi pragmatis baik yang ditawarkan oleh pasangan calon yang diikuti oleh preferensi politik yang pragmatis pula.

Inilah yang kemudian problem terbesar dari sistem politik demokrasi terlebih lagi demokrasi langsung (direct democracy) di indonesia yang berpotensi memberikan peluang yang sama kepada suara orang miskin dan proffesor dalam derajat yang sama sehingga kondisi ini memungkinkan para kandidat yang lahir, dari sistem politik demokrasi berperilaku koruptif.

Disamping itu, penyakit yang begitu akut mendera demokrasi kita disebabkan oleh praktik demokrasi yang ditandai dengan proses-proses politik yang sarat nanipulasi, intoleransi, pragmatisme politik yang membingkai  politik harian sejumlah elit politik. Isu pragmatisme menjadi isu yang menarik dalam pemilukada, pemilu legislatif dan pilpres mendatang, Pragmatisme telah mengingkari etika dalam berpolitik, pragmatisme yang berlebihan akan menabrak rambu-rambu etika politik. Guna mengimbangi praktik-praktik yang demikian gencarnya itu, membutuhkan mekanisme penegakkan hukum (law enforcement) terhadap pelaksanaan demokrasi secara terus-menerus, atau lazim disebut nomokrasi atau the rule law. Diperlukan jugaFilsafat politik sebagai “hakim ilmu pengetahuan” yang berfungsi sebagai rambu-rambu bagi percaturan politik guna melahirkan politik yang sehat perlu untuk ditanamkan kepada para politisi. Menumbuhkan budaya demokrasi (democratic culture) yakni yang berpijak pada kedaulatan populis, dan kesetaraan politik.

Alhasil, krisis politik dan praktik demokrasi sebagaimana yang dikemukakan diatas, pokok masalahnya terletak pada tidak satunya kata, perbuatan para politisi di negeri ini, yang telah mengabaikan satu bahasa penting sebagai politisi beradab, melainkan kebanyakan para politisi negeri ini hanya menguasai bahasa “politik” (politicking) dan bahasa ekonomi. Bahasa “politik” bertanya, “siapa yang menang” (who’s winning)? bahasa ekonomi selalu bertanya, “dimana untungnya” (where’s the bottom line). Padahal, demokrasi tidak lebih hanya sebagai alternatif politik yang  mengandung dimensi sebagai sebuah cara guna mencapai tujuan bersama atau bisanya disebut dengan target antara, Jusuf Kalla mengemukakan bahwa demokrasi hanyalah cara. Yang menjadi tujuan utama adalah kesejahteraan rakyat. Karenanya, demokrasi bisa dinomorduakan, sejauh tujuan bisa tercapai (Sabili edisi Desember 2007). Dengan begitu sebuah pertanyaan klasik, manakah yang didahulukan: demokratisasi ataukah kesejahteraan rakyat?. Wallahu a’lam bishshowwab. 

Mahasiswa Pascasarjana Program MIH Bid/Konsentrasi Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait

Opini

Oleh : M Tahir Irhas, SAg, MPd Nihilisme, anomali domokrasi dan tanggung jawab kaum intelektual merupakan kata-kata yang sudah sangat populer dalam pikiran dan...

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.com.- “Kita harus prihatin kepada generasi selanjutnya. Sebab, daerah Bima sudah telanjur dicap sebagai daerah penganut faham radikal, pencipta teroris, dan perang...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.com.- Pelajar SMAN 1 Belo, Nur Titin Puspita Sari, meraih dua juara pertama, yakni Lomba Penulisan Cerpen dan Puisi pada Pekan Budaya...

Politik

Dompu, Bimakini.com.- Fondasi dari conflict governance dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) damai adalah kesadaran demokrasi. Artinya mekanisme demokrasi akan berjalan efektif dan menjadi...

Politik

Bima, Bimakini.com.- Blusukan tahap kedua dilakukan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bima, Ady Mahyudi-A Zubair di Kecamatan Palibelo, Selasa (27/10/2015). Mereka menyambangi tiga...