Bima, Bimakini.com.- Predikat jawara bagi Bima dalam kasus korupsi menjadi potret buram soal tatakelola pemerintahan daerah. Ini menunjukkan rusaknya sel-sel sosial dan budaya masyarakat Dana Maja Labo Dahu. Demikian pendapat akademisi STISIP Mbojo Bima, Syarif Ahmad, M.Si, Minggu (25/8).
Budaya korup, kata Syarif, sebagai cermin perjudian (gambling) dari model penyalahgunaan kekuasaan oleh elit politik dan birokrasi. Kenyataan ini bisa terjadi, karena para pengelola sudah tidak memiliki nurani, namun nafsu kekuasaan yang mendominasi. “Boleh jadi nurani mengalami abrasi, karena libido berkuasa yang lebih dominan,” katanya melalui telepon seluler.
Pada kondisi seperti ini, kata dia, kekuasaan cenderung dijadikan sebagai tujuan, bukan alat. Ini menjadi indikasi buruknya tata kelola pemerintahan di daerah. “Jika kekuasaan sebagai alat, maka dia akan menyejahterakan, maka mereka akan memosisikan diri sebagai pelayan,” katanya.
Politik sebagai alat, kata Syarif, seharusnya menjadi jembatan pengelolaan pemerintahan. Kenyataan ini juga bisa diperparah masih belum adanya peran elemen sipil yang ikut mengontrol. “Elemen sipil di Bima itu realinya belum ada, karena cirinya itu independen dan mendiri,” ungkapnya.
Perguruan Tinggi (PT), kata dia, sebagai lembaga sosial seharusnya memainkan posisi strategis dalam mengawal pemerintahan di daerah. Namun, kenyataannya PT di Bima kerap dihadapkan pada masalah internal sendiri.
Demikian juga dengan media massa, kata dia, belum secara signifikan memainkan peran-peran sosial. Kelemahan mencolok media massa, terletak pada sumberdaya manusia yang dimiliki, khususnya di Bima. “Media lebih pada agenda oplah, menjalin kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah. Karena hidupnya dari iklan pemerintah melalui kerjasama,” ujarnya.
Kerjasama yang dibangun media dengan pemerintah, menurutnya, tidak salah, hanya saja tidak tersandera. Peran kontrol sosial harus dimainkan, karena bersinggungan dengan kepentingan publik. “Jika ada penyelewengan kekuasaan, maka media harus mengaum, menunjukkan taringnya. Mengontrol bagaimana jalannya pemerintahan di Bima. Jangan habis gertak, lantas diam, karena ada sodoran kerjasama,” tandasnya.
Partai politik pun, kata dia, tidak bisa diandalkan, masih jauh ‘api dari panggang’. Partai hanya disibukkan dengan nafsu kekuasaan ketika proses pemilu legislatif dan juga Pemilukada.
“Lebih pada ritual atas nama rakyat, ujung-ujungnya memperkaya diri sendiri. Melanggengkan kekuasaan dan membangun dinasti,” ujarnya. (pian)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.