Kota Bima, Bimakini.com.- Tingginya angka kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Agama (PA) Raba Bima setiap tahun, memantik keprihatinan anggota legislatif. Pecahnya biduk rumah-tangga itu dinilai sebagai cerminan ketidakarifan menyelesaikan persoalan. Sikap emosional sesaat lebih dikedepankan sehingga berujung pada perceraian.
Demikian pendapat Anggota Komisi A DPRD Kota Bima, Anwar Arman, SE, Rabu (14/8/2013) kepada Bimakini.com menanggapi angka kasus perceraian di Bima yang diungkap PA selama Januari-Juli tahun 2013 mencapai 868 kasus.
Menurut Anwar, dalam pandangan Islam persoalan perceraian memang diperbolehkan, tetapi sangat dibenci oleh Allah dan Rasul. Sebelum membangun rumah-tangga, manusia telah diingatkan agar mendasarinya dengan rasa kasih-sayang, suka sama suka dan bisa saling menerima kelebihan dan kekurangan.
Hal itu, katanya, mengisyaratkan bahwa menikah tidak boleh karena ada unsur paksaan yang menyebabkan terjadinya perpecahan. Apalagi, perkawinan merupakan ikatan suci sehingga harus dihormati.
Lebih jauh Islam mengajarkan agar sebelum menikah bisa memertimbangkannya secara matang. Dianjurkan memilih pasangan yang berakhlak baik, taat beragama, baik keturunannya, dan apabila laki-laki diharapkan bisa menjadi pemimpin bagi istri serta anaknya.
“Kami sangat prihatin terhadap tingginya angka perceraian seperti yang terungkap. Padahal, perbuatan itu sangat dibenci oleh Allah dan Rasulnya,” ujar duta Partai Keadilan Sejahtera ini ditemui di Gedung DPRD Kota Bima.
Anwar menguatirkan, putusnya ikatan perkawinan berdampak terhadap keluarga yang telah memiliki anak. Sebab, dipastikan orangtua perhatian terhadap anak pascaperceraian akan berkurang. Imbasnya, mentalitas anak terganggu dan berpengaruh terhadap perkembangannya.
“Pendidikan langsung dari orangtua sudah tidak ada lagi sehingga anak menjadi korban dari rumah- tangga broken home,” lanjutnya.
Untuk itu, dia mengharapkan, ke depan perceraian tidak terjadi lagi dengan cara memulai membangun rumah tangga dengan pertimbangan yang baik. Selain itu, peran kepala keluarga untuk menyelesaikan persolan sangat diperlukan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pengadilan Agama Raba Bima mencatat, sejak bulan Januari hingga Juli 2013, jumlah kasus perceraian yang ditangani mencapai 868 kasus. Angka itu termasuk yang masuk selama bulan Ramadan yakni sebanyak 54 kasus.
“Jumlah ini cukup banyak, karena baru terhitung hingga Juli, sedangkan bulan Agustus masih kita himpun,” ungkap Pelaksana Tugas Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Bima, Mahfud, kepada Bimakini.com, Selasa (13/8) di kantor setempat.
Mahfud menjelaskan, jumlah kasus perceraian yang terdata itu secara keseluruhan meliputi kasus cerai-talak, cerai-gugat, dan warisan. Untuk laporan permohonan yang meliputi pengangkatan anak, isbat nikah, penetapan ahli waris dan wali adoh sebanyak 72 kasus yang ditangani.
Katanya, sisa perkara yang masih ditangani hingga bulan Juli sebanyak 224 kasus, telah diputus atau selesai 136. Sisanya ada juga yang mencabut laporan dan berakhir damai. Sebagian besar kasus perceraian lebih banyak diajukan istri (cerai-gugat) daripada yang diajukan suami (cerai-talak). “Khusus bulan Juli saja tercatat 73 cerai gugat, lebih banyak dibandingkan cerai talak yang hanya 22 kasus,” terangnya.
Diakuinya, dari 868 kasus yang ditangani ikut disumbang oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), jumlahnya mencapai 32 kasus hingga akhir bulan Juli 2013. Faktor utama penyebab prahara biduk rumah-tangga itu didominasi karena masalah ekonomi dan tanggungjawab kepala keluarga. Selain itu, ada juga karena masalah asmara dan cinta yang mendua alias perselingkuhan. (ady)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.