Kota Bima, Bimakini.com.- Protes soal tidak dipatuhinya putusan sela Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Mataram yang meminta penundaan pelantikan Wali dan Wakil Walui Kota Bima, beberapa waktu lalu, kembali menyeruak ke ruang publik. Kemarin, massa mendesak DPRD Kota Bima segera menggelar sidang paripurna istimewa untuk menganulir pelantikan pasangan terpilih, Qurais-Rahman (Qurma), karena dinilai cacat hukum.
Desakan itu disampaikan massa yang mengatasnamakan Forum Penyelamat Konstitusi Kota Bima ketika mendatangi gedung DPRD Kota Bima, Rabu (14/8/2013) siang. Massa gabungan dari berbagai elemen itu berjumlah ratusan orang, mereka berjalan kaki dan menggunakan sepeda motor. Sebagian besar massa aksi didominasi kaum Hawa, terlihat juga anak-anak.
Perwakilan massa, Farhan, dalam orasinya meminta Legislatif bersikap tegas dalam menegakkan aturan. Satu di antara solusinya yakni menggelar sidang paripurna istimewa dan menghadirkan caretaker untuk mengambil-alih tampuk jabatan Kepala Daerah Kota Bima yang dianggap melanggar konstitusi.
Menurutnya, semua pihak terkait putusan sela PTUN dianggap telah bertindak “makar” karena berani melawan hukum. Hal itu terbukti, dengan tidak dilaksanakannya putusan lembaga negara yang memiliki kekuatan hukum dan berwenang menyelesaikan masalah.
“Tidak ada peraturan atau kebijakan lain yang bisa mengalahkan Undang-Undang, karena aturan tertinggi di negeri ini adalah Undang-Undang. Maka sangat keliru bila ada pihak yang mengabaikan putusan PTUN sebagai lembaga hukum,” sorot Farhan.
Orator lainnya, Sunardi menilai, telah terjadi konspirasi yang tersistem dalam memuluskan pelantikan pasangan terpilih pada tanggal 24 Juni lalu. Saat itu, Legislatif dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bima mengaku belum menerima salinan putusan sela PTUN usai persidangan. Hal tersebut dijadikan sebagai alibi dan pembenaran untuk tidak menentukan sikap saat itu.
“Ini sarat konspirasi, karena tidak mungkin lembaga penyelenggara Pemilu sebagai pihak tergugat tidak menerima salinan putusan,” sorotnya.
Apalagi, urainya, keluarnya putusan sela sehari sebelum dilaksanakannya pelantikan, sehingga sangat mungkin sebenarnya menganulir kembali rencana tersebut dengan bersurat kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melalui Gubernur NTB. Namun, hal itu tidak dilakukan karena ingin memaksa prosesi pelantikan.
“Lembaga negara yang semestinya lebih memahami hukum, tapi ternyata faktanya sama sekali tidak mengerti hukum,” ujarnya.
Usai berorasi bergantian, massa kemudian meminta audiensi dengan DPRD Kota Bima dan meminta menghadirkan KPU Kota Bima sebagai penyelenggara pemilu.
Beberapa saat sebelum kedatangan massa FPK didahului oleh aksi belasan massa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STIH Muhammadiyah Bima menyuarakan aspirasi yang sama. Namun, usai berorasi dan datang massa FPK, mereka membubarkan diri.
Pantauan Bimakini.com, jalannya aksi dikawal ketat ratusan aparat Kepolisian dibantu TNI bersenjata lengkap. Pengamanan juga dilakukan di kantor KPU Kota Bima untuk mengantisipasi kedatangan massa.
Seperti diberitakan sebelumnya, Wali Kota Bima, HM. Qurais, kembali bereaksi soal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram yang mengabulkan semua materi gugatan mantan pasangan Wali dan Wakil Wali Kota Bima, Soesi-Rum (Baru) dan membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bima tentang penetapan dan kemenangan pasangan Qurma.
Katanya, putusan PTUN tidak berwenang mengeksekusi hasil Pemilukada yang telah ditetapkan oleh KPU Kota Bima. Bahkan, tidak pernah ada putusan PTUN yang bisa menggugurkan pasangan Kepala Daerah terpilih. “Tidak ada dalam sejarah bahwa putusan PTUN menggugurkan pasangan Kepala Daerah terpilih,” tegas Qurais saat memimpin upacara apel pagi, Senin (12/8), di halaman kantor Pemerintah Kota Bima.
Menurutnya, sangat keliru apabila kasus Pemilukada di Kota Bima disamakan dengan kasus Pemilukada Gubernur Jawa Timur karena objek perkaranya tidak sama. Kasus yang dialami pasangan calon Gubernur Jawa Timur dengan putusan Pilkada ulang merupakan hasil putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), bukan hasil putusan PTUN.
“Kalau memang ada yang tidak suka dengan hasil Pilkada 13 Mei lalu, itu wajar saja. Tapi, saya yakin lebih banyak yang suka dengan saya,” ujarnya.
Qurais berpendapat, masalah ataupun sengketa hukum Pilkada telah berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK). Apabila ada persoalan hukum lainnya, maka tidak ada Pengadilan lain yang mampu menggugurkan hasil Pemilukada. “Sengketa Pilkada final di MK, bukan Pengadilan lain,” terangnya. (ady)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.