Connect with us

Ketik yang Anda cari

Sudut Pandang

Shalat Tarawih ‘Model SKJ’

(Muhammad Fikrillah)

Berjumpa Ramadan 1434 Hijriyah adalah kegembiraan besar. Mimpi tahun lalu terkabul. Betapa tidak, beragam keutamaan ada di dalamnya. Bahkan, ada satu malam yang ‘dibonuskan’ dan nilainya lebih baik dari seribu bulan atau sekitar 83 tahun. Luarbiasa kan? Sungguh beruntung mereka yang meraihnya. Kini Ramadan mendekati garis akhir. Bergulir menuju Idul Fitri.

 

Ketika bercumbu dengan Ramadan, kenangan lama muncul lagi saat di Kota Malang, Jawa Timur, sekitar tahun 1995 lalu. Di dekat kos, ada mushala mungil yang terisi sekitar 30 jamaah. Shalat tarawih adalah momentum berharga yang tidak boleh dilewati. Dalam gelora kaum muda yang sedang mencari identitas diri dan kehidupan, momentum Ramadan sangat tepat untuk membangun kesadaran ruhaniah. Dalam logika yang selalu saya bangun, Allah akan memudahkan segala urusan jika kita berusaha dekat dengan-Nya. Klop-lah dengan prinsip orang perantauan.

 

Saat itu, shalat tarawih dipimpin oleh imam setempat. Namun, ada yang menggelitik. Rekan saya yang merupakan pendatang baru di kota dingin nan sejuk itu (setidaknya itu dulu yang kami rasakan), juga mengikuti tarawih. Irama gerakan shalat membuat kami tidak nyaman. Pembacaan Al-Fatihah dipercepat, seperti persneling empat pada sepeda motor. Pilihannya pun terbatas, hanya surah pendek seperti Al-Ikhlas dan An-Nas. Hingga saya merantau, belum pernah mengikuti prosesi secepat itu. Saya samasekali tidak menikmatinya. Bisa diprediksi jamaah yang mengikuti shalat 23 rakaat hanya diselesaikan sekitar belasan menit. Kami yang mengikuti delapan 8 rakaat, ya waktunya hampir setengah dari itu.

Hal yang mengejutkan adalah adik kos saya itu memilih mundur dari barisan. Pengalaman baru baginya itu tentunya sangat berbeda saat di kampung halaman. Shalat bak arena balapan (liar) yang mengumbar kecepatan agar cepat finish. Seperti olahraga Senam Kesegaran Jasmani Sekolah Dasar dulu. Kesan yang kuat hanya gerakan naik dan turun, naik dan turun lagi. “Shalat ini seperti Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) saja, saya pulang saja,” bisiknya, tentu saja dalam bahasa daerah.

Sejurus kemudian, dia pamit undur. Saya pun sangat memahami keputusannya mundur dari barisan itu. Suguhan prosesi ‘ber-presneling empat’ itu memang tidak nyaman. Kesan seperti yang dikatakan teman saya tadi, bahwa gerakannya terlalu cepat bak SKJ pelajar pada pagi hari, juga menguat. Entah apa yang ada pada pikiran imam saat itu. Makmum pun tidak ada yang protes. Mereka ‘sami’na wa tha’na’. Kabarnya, ritual seperti itu memang khas wilayah setempat bagi sebagian kelompok tarawih. Apakah Anda pernah merasakannya?

Gerakan shalat minus thuma’ninah seperti itu yang ditegur oleh Rasulullah. Suatu waktu, seorang sahabat shalat di masjid dan saat itu ada Rasulullah. Gerakan pemuda itu cepat dan prosesi dituntaskan dalam waktu singkat. Usai shalat, pemuda itu mendatangi Rasulullah. Lalu? “Ulangi shalatmu, karena sesungguhnya engkau tadi belum shalat!” kata Nabi.

Sahabat itu kaget. Setahunya, dia telah mengerjakan shalat sejak takbir sampai salam dengan tertib sebanyak dua raka’at. Dia sangat ingat, barusan telah mengerjakan shalat. Mungkinkah Rasulullah tadi tidak melihat shalatnya? Tanda-tanya dalam hati membuncah, mengulangi shalatnya kembali, secara tertib dari takbir sampai salam, sebanyak dua raka’at.

Usai mengerjakan shalat, sahabat itu mendatangi dan masih dengan perintah yang sama. Rasulullah menyuruhnya mengulangi shalatnya. Sahabat itu kembali terkejut. Keterkejutannya kali ini bahkan lebih besar dari sebelumnya. Sangat jelas, baru saja melaksanakan shalat dua raka’at. Masih dengan tanda-tanya yang semakin besar dalam hati, dia laksanakan juga perintah Rasulullah. Shalat lagi. Usai mengerjakan shalat, sahabat itu mendatangi Rasulullah harus diulang lagi.

Tiga kali sahabat itu mengerjakan shalat, tiga kali pula Rasulullah “menginterupsinya”. Sahabat itu akhirnya menyerah! Dia “melempar handuk”. “Demi Allah Yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, saya tidak bisa shalat selain seperti shalat yang tadi. (Jika apa yang saya kerjakan tadi salah), maka ajarilah saya!” katanya.

Rasulullah bersabda “Jika engkau hendak melaksanakan shalat, maka lakukanlah wudhu’ dengan sempurna, kemudian menghadaplah kiblat dan ucapkanlah takbir, kemudian bacalah surat (ayat) Al-Qur’an yang mudah bagimu (yaitu setelah membaca surat Al-Fatihah), kemudian lakukanlah ruku’ sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam ruku’, kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri secara sempurna, kemudian lakukanlah sujud sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam sujud, kemudian angkatlah kepalamu dan duduklah (di antara dua sujud) sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam duduk, kemudian lakukanlah sujud sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam sujud, kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam duduk (((dalam riwayat lain: kemudian berdirilah engkau sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam berdiri))), dan lakukanlah hal itu dalam seluruh (raka’at) shalatmu!”

Hadis tersebut mengajarkan bahwa shalat juga memiliki rukun yang tidak boleh diabaikan, yaitu thuma’ninah. Yakni melakukan setiap gerakan shalat secara sempurna, tenang, dan diam beberapa saat sebelum melakukan gerakan berikutnya. Shalat tidak boleh dikerjakan menggebutbagai orang mau mengejar kereta api dan asal cepat selesai saja.

Fakta di sekitar kita membentang. Simak saja bagaimana banyak imam shalat tarawih yang membaca surat Al-Fatihah dalam satu tarikan nafas saja, begitu cepat, tujuh ayat dibaca bersambung, tanpa pernah waqaf pada akhir ayat. Jangan tanyakan lagi keshahihan bacaannya menurut kaidah ilmu tajwid. Apalagi masalah memikirkan dan menghayati makna ayat. Bacaan surah atau ayat-ayat setelah Al-Fatihah lebih cepat dan amburadul lagi jika ditimbang dengan kaidah ilmu tajwid.

Makmum tidak diberi kesempatan untuk menegakkan punggung dan meluruskan tulang-tulangnya, sehingga bisa thuma’ninah dalam i’tidal. Ma’mum tidak sempat membaca doa i’tidal. Saat sujud dan duduk di antara dua sujud, imam memaksa para ma’mum berlomba mematu-matukkan dahi mereka ke lantai, tanpa sempat meletakkan tujuh anggota sujud, duduk di antara dua sujud dengan sempurna dan tenang, membaca doa sujud dan doa waktu duduk di antara dua sujud. Shalat begitu tergesa-gesa, bak sekumpulan ayam yang berebutan mematuk biji jagung di tanah. Tidak ada thuma’ninah.

Dalam tulisan yang di-upload Semesta Ilmu “Inikah Shalat Tarawih Tercepat di Dunia?’ ada satu video rekaman shalat tarawih yang diunggah di Youtube tanggal 29 September 2012 beredar di jejaring sosial.  Video yang berjudul “Traweh Tercepat 7 Menit” menunjukkan jamaah shalat pada masjid shalat dalam gerakan yang sangat cepat. Bahkan, mungkin ini shalat tarawih tercepat di dunia.

Menurut Ustadz Zainal Abidin, Lc, mayoritas imam masjid kurang memiliki akal sehat dan pengetahuan agama yang baik. Hal itu tampak dari cara melakukan shalat. Hampir semua shalat yang dilakukan, mirip shalatnya orang yang sedang kesurupan, terutama ketika shalat tarawih.

Menurut semua madzhab, shalat tidak boleh seperti itu, karena merupakan shalat orang munafik, sebagaimana firmanNya: “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, maka mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia dan tidak menyebut Allah, kecuali hanya sedikit sekali.” (An Nisa:142)

Bentuk dan cara shalat tarawih yang seperti itu, jelas bertentangan dengan cara shalat tarawih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat dan ulama salaf. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad)

Rasulullah bersabda, “Sejahat-jahat pencuri adalah orang yang mencuri dalam shalatnya.”

Para sahabat bertanya: “Bagaimana ia mencuri dalam shalatnya?”

Kemudian Nabi menjawab: “(Ia) tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya” (HR. Imam Ahmad, 5/310).

Thuma’ninah adalah diam beberapa saat setelah tenangnya anggota-anggota badan. Para ulama memberi batasan minimal dengan lama waktu yang diperlukan seperti ketika membaca tasbih. (Lihat Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq:1/124)

Jadi? Ah, ternyata shalat seperti siswa berolahraga ‘model SKJ’ sudah ada sejak zaman Rasulullah. Masih tergambar sempurna pada saat sekarang pada sebagian dari kita, seperti kerisauan teman kos tadi. Mari kita saling mengingatkan. ‘Hukuman’ Nabi pada sahabat di atas adalah teladan paripurna untuk dicontohi.

Permata Asri 112 Kota Bima

(Pernah dimuat di http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/08/02/shalat-tarawih-model-skj)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Peristiwa

Bima, Bimakini.com.-  Persoalan intensitas hujan yang mulai berkurang dua pekan terakhir, menjadi momok bagi petani di Kecamatan Soromandi Kabupaten Bima. Untuk mengantisipasi itu, kemarin,...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.com.- Islam itu mengajarkan kedamaian. Jangan memaksakan suatu kehendak pada orang lain.  Jalan kekerasan bukan zamannya lagi. Demikian disampaikan Prof Dr H...

Pendidikan

Kota Bima, Bimakini.com.- Pembinaan mental-spritual menjadi satu di antara titik tekan dalam pembelajaran di Taman Kanak-Kanak/Sekolah Dasar Islam Terpadu (TK/SDIT) Insan Kamil Kota Bima....

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.com.-Dalam Islam, pemimpin itu diibaratkan imam dalam shalat. Dia senantiasa mengucapkan kalimat yang baik, gerakannya dicontohi, dan makmumnya sangat patuh kepadanya. Tidak...

Hukum & Kriminal

Dua orang dokter di Kota Bima, Jumat (13/4) sekitar pukul 15.30 Wita diciduk oleh Detasemen Khusus (Densus) 88, karena diduga terlibat tindak terorisme. Kedua...