
Pendemo saat menguasai ruangan sidang dan diminta pihak Kepolisian meninggalkan arena.
Bima, Bimakini.com.- Massa dari elemen Masyarakat untuk Transparansi daerah (Mantanda) Bima dan Aliansi Mahasiswa dan Pemuda untuk Perubahan (Ampera), menggelar aksi di DPRD Kabupaten Bima, Senin (23/9). Aksi itu sebagai reapons terhadap kasus Balita kurus di Kabupaten Bima yang mencapai 5.896 anak. Kenyataan miris lain, di tengah masalah ancaman atas generasi, istri para pejabat plesiran ke Thailand.
Massa awalnya menggelar orasi di depan depan ruang sidang DPRD Kabupaten Bima. Saat sidang baru dimulai dengan agenda jawaban Bupati Bima terhadap pandangan umum fraksi, massa memaksa masuk. Apalagi, sidang paripurna sifatnya terbuka dan dibuka untuk umum, sehingga siapapun dapat menghadirinya.
Awalnya pendemo yang masuk dari pintu samping dihalangi oleh pegawai setempat. Hanya saja, mereka tetap ngotot, karena sebelumnya Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bima, Ahmad SP, M.Si, menyatakan mereka boleh ikut, karena terbuka dan dibuka untuk umum.
Saat masuk, mereka dikawal aparat pihak Kepolisian. Awalnya empat perwakilan dari mereka diminta masuk dan ikut sidang paripurna dengan catatan hanya mendengar. “Tidak boleh interupsi atau bicara saat siding berlangsung,” kata Ketua DPRD Kabupaten Bima, Drs. H. Muchdar Arsyad.
Persyaratan itu pun diterima oleh pendemo dan mereka duduk di antara undangan. Beberapa saat sejumlah wartawan dan lainnya masuk ke ruangan sidang. Melihat hal itu, pimpinan Dewan pun menunda sidang dan meninggalkan ruangan. Demikian juga dengan Wakil Bupati Bima, Drs. H. Syafruddin HM Nur, M.Pd.
“Kami hanya ingin mendengar apa penyampaian eksekutif atas pandangan fraksi. Sebelumnya salahsatu fraksi menyorot soal penanganan gizi buruk dan gizi kurang 5.896 anak,” kata Amiruddin, Korlap Aksi.
Seorang pimpinan Dewan yang keluar dari ruangan sempat berceloteh agar memanggil Polisi untuk mengusir para pendemo di ruangan. Lebih dari setengah jam sidang tidak juga dimulai. Demikian juga dengan pimpinan Dewan tidak muncul di ruangan. Setelah itu, pihak kepolisian mendekati pendemo dan menyampaikan, jika sidang tidak bisa dilanjutkan jika mereka masih berada di ruangan.
“Pimpinan Dewan mengatakan kalian tidak bisa ikut, karena yang bisa mengikuti sidang ini adalah yang memiliki undangan,” kata seorang Polisi.
Mendapat jawaban itu, perwakilan pendemo yang sebelumnya diijinkan masuk memertanyakan kembali hal izin sebelumnya. Namun, pihak Kepolisian tetap meminta mereka keluar dan mengancam mengusir jika tidak mau meninggalkan ruangan.
Tidak ada titik temu, sehingga salahsatu perwakilan pendemo menemui pimpinan Dewan. Namun, jawaban mengecewakan diterima oleh mereka, pimpinan Dewan tetap ngotot tidak menyilahkan ikut serta. “Namanya sidang terbuka dan dibuka untuk umum, maka tidak ada pengecualian. Kalau harus ada undangan, maka bukan terbuka untuk umum,” kata wakil pendemo.
Pendemo pun akhirnya meninggalkan ruangan. Rasa kecewa membuncah. Namun, saat mereka diluar, sempat terjadi lagi ketegangan dengan aparat. Mereka dimintai izin aksi, sementara pendemo mengaku sudah menyampaikan surat pemberitahuan aksi. Akhirnya aksi dilanjutkan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bima, Ady Mahyudi, SE, mengatakan sebenarnya pendemo diizinkan ikut sidang. Hanya saja, setelah empat perwakilan yang masuk, lainnya ikut serta. “Sebenarnya bisa mereka ikut, kalau tidak masuk lagi yang lainnya, selain empat orang pertama,” katanya. (pian)
