Kasus tertembaknya guru wanita pada kamar kos di Kelurahan Mande Kota Bima hingga kini masih menjadi perbincangan hangat masyarakat Mbojo. Tidak hanya di Kota Bima, tetapi juga di wilayah Kabupaten Bima. Apalagi, terekspose luas melalui media cetak dan elektronik. Setidaknya, ada dua sisi yang menjadi sorotan publik.
Pertama, kemampuan mereka mengoleksi senjata api rakitan yang mematikan. Kepemilikan ini mesti ditelusuri lebih mendalam dalam hal potensi penyimpangan penggunaannya. Bisa dijadikan “tameng” untuk kasus seperti pencurian kendaraan bermotor dan bertempur di medan konflik antarkampung. Bahkan, konflik antarmahasiswa ketika luapan emosi tidak lagi terbendung. Dalam konteks itu, aparat jangan hanya terhenti pada sebatas pengakuan main-main dari dua oknum yang dibekuk, tetapi menelisik hingga sudut terdalam.
Sisi kedua, sebegitu jauhkah pergaulan kaum muda Mbojo hingga benda berbahaya berbentuk pistol hanya digunakan untuk main-main saja. Pergaulan kaum muda dalam aroma dan bumbu modernitas sekarang ini, sudah kebablasan. Sejumlah kasus kriminal, konflik, dan sejenisnya yang melibatkan kaum muda dan mahasiswa pada seputar kampus di bagian Selatan Kota Bima itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang perlu dievaluasi bersama.
Sejatinya, lingkungan yang di dalamnya dihuni oleh kaum terdidik mencerminkan kekentalan suasana akademis, keintelektualan, dan geliat kaum muda yang mencari jatidiri. Mereka yang sedang belajar memantapkan diri mengumpulkan bekal untuk bertarung dalam kenyataan hidup setelah tapat kuliah. Kesempatan menimba ilmu adalah momentum untuk mengasah diri untuk menghadapi kenyataan sosial nanti.
Pascakejadian tragis itu, kita mengharapkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan kewaspadaan dan melakukan konsolidasi ulang terkait tampilan perilaku yang meneguhkan identitas lingkungan terdidik. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.