Ada dua isu yang menguat pekan ini. Setelah heboh tarian erotis dan Miras, kini kasus gizi buruk dan gizi kurang membelit Kabupaten Bima. Saat bersamaan, sebanyak 40 istri pejabat berwisata ke Negeri Gajah Putih, Thailand, Minggu (22/9). Plesiran itu dipimpin Ketua PKK Kabupaten Bima, Hj. Indah Damayanti Putri. Di media jejaring sosial, sejumlah pihak membahasakan kegeramannya. Bagaimana rangkaian peristiwa ini direfleksikan?
Sejatinya, berwisata adalah kebutuhan setiap orang di tengah dinamika kehidupan sosial yang kompleks. Plesiran menemukan maknanya ketika menjadi semacam saluran untuk menyegarkan pikiran setelah berjibaku dengan beragam persoalan. Istri pejabat pun demikian, masing-masing memiliki kerangka persoalan yang memerlukan ‘saluran keluar’ yang tepat dan efektif. Thailand adalah satu di antara pilihan. Apakah pilihan negeri nun jauh di sana itu untuk mengimbangi derajat penyaluran penyegaran pikiran? Hanya mereka yang mengetahuinya.
“Membenturkan” dua isu ini termasuk sensitif. Ada 5.896 Balita yang mengalami kekurangan gizi dan tergolong bergizi buruk sehingga harus segera diselamatkan. Pada sisi lain, “ibu-ibu” Balita itu memilih berwisata ria menuju tempat nun jauh di sana tentu dengan dana yang relatif banyak. Meski bukan ibu kandung, tetapi mereka sejatinya menyatu dalam naluri kewanitaan. Naluri seorang ibu.
Kasus seperti itu, mesti direaksi cepat. Pihak pemerintah berkontribusi melalui tambahan anggaran dan mengonsolidasi aparatur yang menangani. Intervensi kebijakan anggaran dan pengawasan pun mendesak diperankan oleh legislatif. Kelompok swadaya masyarakat dan kelompok peduli lainnya menjadi penekan agar memberi perhatian lebih.
Kasus Balita dan plesiran istri pejabat menyuguhkan dua hal yang jomplang, setidaknya dari sudut pandang sebagian pihak. Maka, pilihan dan momentum tindakan pun selayaknya disinkronkan. Sekarang ini, sebagian publik sudah menjustifikasi bahwa ibu-ibu yang tergabung dalam Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) telah kehilangan sebagian ruhnya sebagai suatu lembaga. Selain itu, sebagai istri pejabat telah gagal mengekspresikan pilihan tindakannya.
Jika arah persepsi publik seperti itu, maka sesungguhnya menjadi tidak penting lagi apakah perjalanan itu menggunakan biaya perjalanan dinas dan dana hibah APBD Kabupaten Bima, ataukah kantung pribadi sekalipun. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.