Ilustrasi: hs
Bima,Bimakini.com.-Ada yang menghentak di pelataran bumi Nggahi Rawi Rahu, Dompu. Bupati H. Bambang, menyergap suasana. Menjemur pegawai karena absen saat acara 1 Muharam atau pergantian tahun baru Hijriyah. Sebanyak 266 pegawai merasakan terik menyengat. Selanjutnya, diikuti seribu labih pegawai lainnya. Jemuran massal itu menyita perhatian karena sesuatu yang tidak disangka.
Hukuman berpola menjemur memang bukan hal baru di lingkungan birokrasi Dompu dan Bima. Pegawai yang terperangkap saat inspeksi mendadak kerapkali berujung hukuman jemuran. Namun, yang dilakukan Bupati Dompu kali ini terasa menyengat. Memang, jika dicermati, hukuman jemuran bagi pegawai jelas memalukan. Karena itu merupakan bukti ketidakdisiplinan mereka menjadi aparatur pemerintah. Kondisi cuaca memang lagi menyengat, bisa merupakan tamparan psikologis yang kuat.
Namun, jika Bupati memilih menjemur untuk ‘menjewer’ perilaku mangkir pegawai, setidaknya ada pesan yang ingin disampaikannya. Momentum hukuman karena absen pada cara peringatan 1 Muharram itu merupakan upaya terapi kejut untuk menge-chash kembali sisi kedisiplinan. Jika pada peringatan tahun baru Masehi semuanya hanyut dalam euforia, maka momentum awal Muharram itu sejatinya dilihat dalam perenungan mendalam. Memaknai hijrahnya Rasulullah pada masa dulu dan mengaktualkannya dalam ekspresi sikap keseharian. Hukuman jemur itu mesti dimaknai sebagai lecutan agar segera berhijrah. Dari kondisi malas dan acuh tidak acuh menuju pribadi berkarakter kuat plus berdisiplin tinggi.
Namun, hukuman dengan cara memotong tunjangan kinerja merupakan langkah tepat untuk menghentak kesadaran pegawai agar kembali ke ‘jalan yang lurus dan benar’. Meneguhkan tiang kesadaran sebagai abdi Negara dan pelayan masyarakat. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
