Beberapa hari terakhir kampanye, pasangan calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati Bima mulai mengemas janji dan berani berhadapan dengan aspirasi spontan masyarakat yang dikunjunginya. Aspek yang terungkap adalah janji pembangunan infrastruktur, bahkan memberi bantuan langsung untuk perbaikan fasilitas umum. Itu berarti lebih maju sedikit dari sebelumnya hanya menebar pesona, tersenyum tanpa henti, dan sekadar ‘say hello goodbye’ kepada warga yang mengerumuninya.
Ya, janji adalah pintu masuk bagi Paslon untuk menarik perhatian dan simpati masyarakat. Politisi tanpa jejeran janji, ibarat sayur tanpa garam. Hanya saja, janji yang tidak terimplementasikan bisa menjadi boomerang yang menohok wibawa. Idealnya, para politisi dan tim sukses sebelumnya mengunjungi suatu wilayah telah ‘membaca peta aspirasi dan kebutuhan warga’ lalu menawarkannya dalam bahasa lugas dan terukur. Politisi itu menawarkan sesuatu. Pilihan kata dan gaya penyampaian menjadi sebagian ukuran yang akan dibahas publik.
Soal janji itu, masyarakat jangan hanya sekadar mengangukkan kepala saja. Janji Paslon harus dicatat atau dalam bahasa gampangnya dibuat kontrak politik. Masalahnya, dalam dinamika politik Indonesia umumnya, politisi sering terlena terhadap janjinya dan publik kerap sempit daya ingatannya. Oleh karena itu, agar daya hentakan janji itu dapat ditagih, maka masyarakat harus cerdas menyikapinya. Jangan hanya sekadar urun-rembug dalam keramaian, lalu berlalu tanpa makna.
Lebih dari itu, Paslon juga harus ditantang untuk bertanggungjawab terhadap apa yang dijanjikannya. Jangan sampai terjadi ada fasilitas atau bantuan yang diberikan, namuan ditarik laggi karena suara perolehannya tidak signifikan seperti yang dibayangkan. Kasus seperti ini telah banyak terjadi. Suatu hal ironis, karena telah meletakan harga diri pada urutan ‘nomor sepatu’.
Keberanian Paslon menjanjikan sesuatu, masih ditunggu lagi. Namun, kecderdasan masyarakat mencernanya merupakan keniscayaan. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
