Connect with us

Ketik yang Anda cari

Pendidikan

Kelas Inspirasi 2 Dana Mbojo yang Luar Biasa

            HARI itu, Jumat 4 September 2015. Saya meluncur ke Kantor Dikpora Kabupaten Bima untuk bergabung dengan kawan-kawan lain yang akan mengisi Kelas Inspirasi (KI) 2 di Kecamatan Wera dan Ambalawi. Ini pengalaman pertama saya, tentu ada perasaan yang beda. Beda dengan menjadi pengajar di ruang kuliah, atau menjadi narasumber yang sudah sering saya lakukan. Ini akan berada depan kelas anak-anak Sekolah Dasar. Mulai dari kelas I hingga kelas VI. Tujuannya, menginspirasi mereka tentang masa depan, merangsang dan membuka wawasan mereka tentang banyak pilihan profesi, dan memotivasi mereka agar bisa merawat dan memelihara mimpi-mimpi masa kecilnya.

 

            Bersama rombongan, saya meluncur ke Ambalawi. Harusnya semua rombongan baik inspirator, fasilitator, fotografer, videografer, maupun panitia yang merupakan pengajar muda dari Indonesia Mengajar mulai menginap di lokasi kegiatan hingga Minggu, 6 September 2015. Tetapi karena saya berencana pulang, saya memutuskan membawa kendaraan sendiri. Bersama Ojan, panggilan Muhammad Fauzan, pengajar muda yang sedang bertugas di salah satu SD di Desa Oi Bura Kecamatan Tambora, kami tiba di Kantor UPT Dikpora Ambalawi sekitar pukul 16.00 Wita.

            Rombongan yang bertugas di Kecamatan Wera pun berkumpul seluruhnya di sini. Di aula ada acara pelepasan oleh Dinas Dikpora Kabupaten Bima dan penerimaan oleh Kepala UPT Ambalawi, Muhammad Amin. Acara berlangsunh sederhana. Tim KI Kecamatan Wera kemudian meluncur bersama Sesdis Dikpora, Nasrullah, dan Kabid Dikdas, Amirudin, karena sudah ditunggu oleh Kadis Dikpora untuk dilakukan acara serah terima sebelum meluncur ke sekolah tujuan.

            Kami yang bertugas di Ambalawi, sempat briefing penyegaran teknis sebentar sebelum menuju ke sekolah tujuan KI. Masing-masing kecamatan, ada lima sekolah dasar yang dipilih. Di kecamatan Ambalawi ada SDN 2 Rite, SDN 2 Tolo Wata, SDN 1 Talapiti, MIS Nipa dan MIS Mawu. Sementara di Kecamatan Wera ada SDN Inpres Wora, SDN Tadewa, SDN Nunggi, SDN Hidirasa, dan SDN Sangiang Pulau. Usai briefing, saya bersama rekan inspirator lain yang didampingi fasilitator, videografer, fotografer, dan pengajar muda Indonesia Mengajar, Ojan menuju SDN 2 Rite. Sekolah ini sudah kami lewati ketika menuju ke ibukota kecamatan Ambalawi, di Nipa.

            Pertama memasuki halaman sekolah yang dibangun di sisi barat gunung ini, terlihat begitu bersih dan rapi. Ada kran air. Airnya pun mengucur sangat deras yang terpasang di teras sekolah. Ojan mengaku kaget, karena lokasi sekolah ini yang cukup tinggi dari jalan raya. Air menjadi perbincangan, karena ada di antara rekannya sesama pengajar muda yang bertugas di Bajo Pulau kecamatan Sape, sulit sekali mendapatkan air. Untuk keramas saja, harus beli air di Sape yang diangkut dengan perahu. Walau diakui Ojan kondisi itu berbeda dengan lokasi tempatnya mengajar di Oi Bura. ‘’Di desa Oi Bura kami tidak kesulitan air,’’ katanya.

            Kami diterima oleh Kepala SDN 2 Rite, Darwis M. Saleh, S.Pd. Pria ramah kelahiran Bima, 8 April 1966 ini menerima kami dengan senang hati. Banyak hal yang kami obrolkan dengan Pak Darwis sambil menunggu nasi matang di rice cooker. Dia menemani kami hingga malam. Karena kegiatan tersebut untuk pertama kali, kami mengenalkan diri agar lebih akrab. Kami pun makan malam dengan menu ayam bakar dan mie rebus. Pak Darwis sangat antusias. Dia begitu bersemangat. Bercerita banyak hal dan juga bertanya banyak hal. Rupanya Pak Darwis penasaran dengan kehadiran kami. Profesi kami pun ditanya. Para inspirator bukanlah para guru, kami hadir dari beragam profesi. Ada wartawan seperti saya, ada birokrat, ada juga pegiat LSM.

            Kami para inspirator, sebelumnya tidak saling kenal. Kami mendaftarkan diri karena tertarik dengan kesempatan yang diberikan oleh panitia KI Dana Mbojo yang diumumkan online di Facebook. Saya adalah salah satunya yang ikut mendaftar. Menurut bung Olan panggilan akrab M. Olan Wardiansyah, M.Pd, ada banyak orang yang mendaftar. Mereka bukan hanya dari Bima, tetapi juga banyak dari daerah lain di Indonesia. Entah karena pertimbangan apa, saya dinyatakan lolos dan diundang untuk menjadi salah satunya. Jujur saya sempat khawatir tidak lolos pada seleksi ini. Dalam masa penantian ini pun, saya terus berpikir akan berbuat apa di dalam kelas anak-anak SD itu, karena saya bukanlah inspirator yang sesungguhnya. Saya hanya seorang wartawan. Jika pun menjadi pengajar, itu pernah saya lakoni beberapa semester di Jurusan Ilmu Komunikasi STISIP Mbojo Bima. Lainnya, hanya menjadi nara sumber biasa. Setelah briefing baru saya pahami bahwa memang dibutuhkan inspirator dari keragaman profesi untuk menginspirasi anak-anak. Karena berdasarkan pengalaman, jika anak-anak ditanya tentang mimpi dan cita-cita mereka, hanya ada empat profesi yang mendominasi. Profesi itu adalah guru, dokter, tentara, dan polisi. Lainnya tidak kenal. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangannya sehingga KI ini dilaksanakan. Program brilian ini nenurut saya sangat luar biasa. Sederhana, tanpa biaya, dan sangat bermanfaat.

            Makan malam dengan kepala SDN 2 Rite dan beberapa guru, rasanya luar biasa nikmat. Tidak jelas apakah karena tempat, suasananya, atau waktunya yang di luar jadwal yang biasa. Pak Darwis bersama guru-guru malam itu menyediakan ayam bakar dan mi rebus. Usai makan malam, saya pamit pulang. Harusnya sesuai ketentuan panitia, tidak ada yang boleh pulang. Bahkan Pak Amirudin saat melepas peserta di kantor Dinas Dikpora Kabupaten Bima sempat guyon akan menghadang siapa pun yang pulang ke Kota Bima. ‘’Supaya kita bisa bersama-sama menikmati bermalam di lokasi,’’ ujarnya. Selain saya, karena ada alasan keluarga, Firna, fotografer yang bertugas di SDN 2 Rite pun ikutan pulang.

Hanya setengah jam melewati Ncai Kapenta. Saya tidak langsung pulang ke rumah karena harus mengisi bahan bakar dan mencari kebutuhan ringan untuk dibagi-bagi dalam kelas saat kegiatan berlangsung. Sementara kawan-kawan yang tinggal di SDN 2 Rite, malam itu sibuk menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk kegiatan KI, termasuk sebuah pohon harapan. Daun dari pohon harapan itu nantinya akan ditempel sendiri oleh anak-anak setelah menulis harapan dan cita-citanya. Pohon harapan hanyalah simbol, simbul tumbuh, berbunga, dan berbuah. Harapannya adalah daun harapan yang telah ditulisi dengan cita-cita anak-anak itu tetap terpelihara, tumbuh, berbunga dan berbuah. Anak-anak pun diharapkan bisa merawat dan memelihara mimpi dan cita-cita mereka seperti merawat pohon. Jangan sampai layu apalagi mati.

            Jujur, awalnya saya agak kesulitan menentukan angle tulisan ini setelah menjadi inspirator. Tidak biasanya saya alami hal seperti ini. Kalau mau menulis ya menulis saja, mengalir begitu saja. Tiba-tiba saja sudah selesai. Dan biasanya tanpa hambatan sedikitpun. Ini rasanya sedikit beda. Beda muatan dan beda rasanya. Mengapa?

Ketika saya mencoba untuk mencari jawabannya, salah satu yang bisa saya duga adalah ketika saya terbawa suasana seperti ketika masih duduk di bangku sekolah dasar dahulu. Rasanya pingin sekali memutar masa-masa itu dan ingin belajar banyak hal mulai dari usia dini lagi. Ingin menggnatungkan cita-cita di tempat yang sangat tinggi lagi, dan ingin menjadi orang yang lebih hebat lagi. Saya teringat ketika masa-masa sulit bersama orang tua. Teringat ketika harus tinggal dengan nenek dan menempuh perjalanan 4 kilometer untuk bisa sampai ke sekolah. Berjalan tanpa alas kaki di siang yang terik.

Tetapi apakah saya harus memulai semuanya dari usia dini lagi? Mustahil… point pentingnya adalah, semoga rasa yang terungkap ini juga bisa menginspirasi. Karena waktu tidak bisa diputar, karena penyesalan tidak datang di awal, karena masa-masa itu adalah masa emas yang harusnya bukan hanya untuk bermain, tetapi untuk mencari banyak jawaban atas banyak pertanyaan tentang apa dan mengapa. Itulah yang seharusnya. Inilah yang ingin saya sampaikan, ketika sehari bersama anak-anak di Sekolah Dasar Negeri 2 Rite.

Pagi Sabtu, 5 September 2015, sekitar pukul 06.00 Wita saya sudah meluncur ke SDN 2 Desa Rite. Saya sudah perhitungkan, saya hanya butuh waktu 30 menit saja untuk bisa tiba di sekolah itu.

Dengan semangat baru dan juga dengan hati berdebar-debar karena akan berhadapan dengan murid-murid SD dari kelas I sampai kelas VI, saya bemutar lagu dangdut selama perjalanan yang melewati Ncai Kapenta yang penuh dengan tanjakan dan tikungan tajam itu. Hari itu saya mengenakan baju biru, baju bertuliskan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB di bagian belakang. Di bagian depan di atas kantungnya ada tulisan DKD PWI NTB. Baju ini hanya dipakai oleh empat orang anggota DKD (Dewan Kehormatan Daerah) di NTB ini. Karena memang jumlah anggota DKD hanya segitu. Tugasnya, untukmengawal dan menjaga pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik oleh seluruh anggota PWI di NTB. Kalau ada pengaduan, ya mengusut dan memberikan sanksi kepada anggota jika melanggar. Seperti Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) misalnya, Dewan Kehormatan DPR misalnya. Jadi untuk memastikan pelaksanaan kode etik internal lembaga apakah sudah berajalan sesuai ketentuan atau sebaliknya. Itulah tugas DKD PWI NTB.

Alhamdulillah ketika saya tiba di sekolah, apel pagi belum dimulai. Saya belum telat.

Apel pagi dengan 116 siswa-siswi SDN 2 Rite dimulai sekitar pukul 07.05 Wita. Para inspirator, fasilitator, dan panitia dikenalkan satu-satu. Demikian pula sebaliknya. Pak Darwis M. Saleh, S.Pd, kepala SDN 2 Rite yang menjadi komandan apel pagi, juga mengenalkan semua guru dan staf. Semuanya berjalan lancar. Briefing singkat oleh Ojan, juga berlangsung singkat dan lancar.

            Tibalah waktunya masuk kelas. Pertama saya masuk di kelas gabungan anak-anak kelas III dan kelas IV. Wow… ramai, gaduh. Penuh keceriaan, dunianya anak-anak yang saat itu mengenakan seragam Pramuka. Pelajar putri dengan rambut diikat rapi, yang laki pun disisir lebih keren. Tidak tampak kekumuhan sama sekali. Luar biasa orang tua mereka telah mendandani anak-anak mereka sepagi begini. Bedanya dengan anak-anak wanita seusia mereka di Kota Bima, semuanya mengenakan kerudung kalau ke sekolah.

            ‘’Selamat pagi anak-anak, Assalamualaikum,’’ kata saya dengan suara lantang agar mereka bisa ikut semangat. ‘’Waalaikumussalam,’’ jawab mereka dengan suara riuh. Kemudian dilanjutkan dengan salam dan sapa membangkitkan motivasi agar suasana pagi ceria itu lebih semangat lagi.

            Di kelas saya mulai tanya nama mereka secara acak. Mereka berebut angkat tangan menyebut namanya. Selanjutnya, saya mulai tanyakan cita-cita mereka kalau nanti sudah besar. Wowww…. ternyata benar. Dokter, guru, polisi, tentara. Itulah cita-cita yang paling dominan. Bukan hanya di kelas III dan IV yang pertama saya masuki, hingga kelas VI pun, dominasi profesi ini masih terjadi. Jadi jangan heran kalau ada pawai untuk merayakan hari kemerdekaan misalnya, anak-anak hampir dapat dipastikan memakai baju dokter, tentara, dan polisi, selain pakaian adat tentunya.

            Peran kami para inspirator dimulai dari sini. Saya mulai membuka cara pandang dan wawasan mereka soal sejuta profesi lain di luar sana yang bisa mereka pilih dengan sesuka hati. Tentu, juga yang menjanjikan kesejahteraan jika dilakoni secara sungguh-sungguh dan profesional. Saya bertanya apakah mereka mengetahui ada orang yang menjadi wartawan? Beragam jawaban mereka sampaikan. Sebagai inspirator yang berprofesi sebagi wartawan, saya kemudian menularkan banyak hal baik tentang profesi saya. Pekerjaan mulia dan menjadi pilar ke empat dari negara demokrasi. Para jurnalis tidak kenal lelah menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui berbagai media seperti koran, televisi, radio, maupun media online. Nyawa mereeka pun sering terancam di medan perang dan daerah-daerah konflik saat mereka menjalankan tugasnya.

Apakah karir seorang wartawan hanya sekadar menulis berita? Saya sampaikan bahwa wartawan juga bisa menjadi menteri seperti Harmoko di era Orde Baru, bahkan menjadi Wakil Presiden seperti Adam Malik. Sekarang banyak juga anggota DPR mulai dari DPRD Kabupaten/Kota hingga DPRD RI aalah wartawan. Apa hebatnya wartawan? Mereka banyak pengetahuannya, luas wawasannya. Untuk bisa mencapai tahap itu, mereka harus terus belajar dan belajar. Tidak pernah berhenti belajar. Syarat untuk menjadi wartawan memang ada juga yang cukup sekolahnya hanya sampai tamat SMA, bahkan ada pula yang sukses jadi wartawan walau pendidikan formalnya hanya sampai SMP. Tetapi tidak sedikit juga wartawan yang sekolahnya sampai S2 bahkan S3.

            Wartawan yang kaya raya juga banyak. Punya perusahaan besar dan dan memiliki ribuan karyawan. Dahlan Iskan salah satu di antaranya. Dahlan berhasil membangun gurita media dari ujung timur Indonesia hingga Aceh. Demikian pula dengan Jacoeb Oetama dengan Kompas Media Group dan Gramedianya. Saya pun menceritakan tentang diri saya bagaimana menjadi seorang wartawan. Selain memimpin sejumlah media, saya sampaikan kehidupan juga lumayan, memiliki banyak karyawan, dan pernah diundang oleh Pemerintah Amerika untuk jalan-jalan ke negaranya. ‘’Siapa yang mau ke Amerika gratis?’’ Serentak menjawab ‘’Sayaaaaaaaaaa.’’

            Wartawan seperti juga profesi lainnya, bisa ditumpangi juga oleh oknum yang menjadikan profesi mulia ini untuk memperkaya diri dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kode etik profesi. Tetapi saya sampaikan, tidak perlu berkecil hati. Karena penumpang gelap itu tidak hanya ada di profesi wartawan. Kalau ada wartawan tidak benar, ada juga orang tidak benar di banyak profesi lainnya. ‘’Yang paling penting, bukan kita yang tidak benar ya.’’ Apa yang saya ungkapkan, dan cara penyampaiannya pun berbeda untuk tiap tingkatan kelas. Saya paham bahwa pilihan bahasa sangat penting bagi anak-anak dengan tingkat kelas yang berbeda.

            Saya sengaja menyiapkan kurang lebih dua lusin buku tulis dan alat tulis untuk saya bagikan pada siswa yang kelihatan menonjol, aktif dan ‘berbeda’ dari kawannya yang lain. Seru ketika semua mereka ingin mendapatkan hadiah kecil yang terbatas itu. Tetapi saya sampaikan bahwa tidak semuanya dapat hadiah. Ada syaratnya, dan itu bisa dipahami. Ada keceriaan, kegembiraan, kesenangan dunia anak yang terekam. Saya dipanggil ‘’Pak guru’’ rasanya sesuatu banget. Saya sendiri sejak kecil tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Seperti kebanyakan masyarakat Dana Mbojo, PNS adalah impian. Saya kemudian memilih kuliah di Fakultas Pertanian Unram, dengan harapan menjadi pegawai kantor Dinas Pertanian, yang ada depan rumah orang tua saya.

            Uniknya, saya tidak pernah melamar menjadi pegawai Dinas Pertanian sejak saya tamat kuliah. Hanya pernah sekali ikuti tes CPNS di Kantor Gubernur NTB, tetapi entah mengapa saya dinyatakan tidak lolos administrasi. Hanya itu saja dan saya akhirnya menjadi wartawan Lombok Post. Menjadi wartawan sejak tahun 1992, itu sudah 23 tahun lalu. Sampai sekarang pun saya masih menjadi seorang wartawan. Saya bangga menjadi wartawan. Ini pula yang saya sampaikan kepada anak-anak di SDN 2 Rite. Saya berani menatap dunia dan berdiri di hadapan semua orang karena saya seorang wartawan. Saya bisa melihat sejumlah negara juga karena menjadi wartawan. Saya sering naik pesawat terbang juga karena saya seorang wartawan. Saya bisa menulis pun karena saya seorasng wartawan.

            Mulai ada perubahan cara pandang mereka. Beberapa di antaranya mulai ‘tergoda’ untuk memiliki cita-cita yang lain selain jadi dokter, guru, polisi, dan tentara. Ada di antaranya yang ingin menjadi wartawan supaya bisa sering masuk televisi. Bahkan ada yang ingin pula menjadi penyanyi setelah diceritakan bahwa seorang penyanyi juga bisa hidup layak. Untuk unjuk kebolehan bernyanyi saya minta mereka unjuk jari dan maju ke depan. Lagu Bima pun menggema di kelas VI. Dua siswa dengan rasa percaya diri yang tinggi melantunkan bait-bait lagu Bima (rawa Mbojo) yang penuh dengan pantun-pantun khasnya.

Ada satu kejutan menarik yang saya jumpai di kelas II. Saya sedikit agak kaget ketika seorang siswa di kelas ini mengacung jarinya dan dengan nada serius menyampaikan apa cita-citanya. ‘’Saya ingin menjadi teroris,’’ katanya dengan nada sungguh-sungguh. Ekspresi wajahnya pun terlihat sangat serius. Saya mendekati. Kawan-kawannya pun ikut memperhatikan. Dengan pelan dan duduk di lantai saya tanya mengapa dia ingin menjadi teroris. ‘’Enak pak guru, kita bisa bawa senjata, naik gunung dan bisa menembak musuh,’’ ujarnya pelan.

Kawan-kawannya yang mendengarkan jawaban anak itu bahkan sempat bilang kalau teroris itu jahat. ‘’Kita tidak boleh menjadi teroris,’’ ujar siswi di sampingnya. Mendapati kenyataan seperti itu saya coba mencari tahu dari mana cita-citanya itu mulai muncul. Dia mengaku sering menonton televisi dan melihat teroris di gunung bawa-bawa senjata. Saya pun dengan nada persuasif memberikan pemahaman dengan sangat hat-hati. ‘’Nak, teroris itu musuh negara. Kalau ingin punya senjata, naik gunung, dan menembak musuh, lebih baik jadi tentara saja. Kan bisa membela negara dan jadi pahlawan, menjaga keamanan dan keutuhan negara kita, itu kan sangat mulia.’’ Dia mengangguk-angguk. Saya hanya berharap anak kita ini mengerti. Saya jadi kangen sama dia. Wajahnya dan namanya masih saya ingat. Demikian pula dengan ekspresinya. Saya ingin kembali ke sekolah itu untuk mengobrol dengannya. Saya ingin membawakan sesuatu untuknya suatu saat nanti.

Bel terakhir tanda kelas berakhir, saya sedang berada di kelas ini. Saya sampai lupa kalau saya punya tugas untuk membagikan guntingan kertas berupa daun kepada anak-anak. Di daun itulah mereka akan menulis cita-cita dan mimpi mereka kelak kalau sudah besar nanti. Yah namanya masih kelas I dan II, ada yang bisa menulis dan ada yang belum. Tetapi jujur saya kagum dengan anak-anak kelas I dan II di SDN 2 Rite ini. Sebagian besar mereka sudah bisa menulis nama dan cita-citanya. Kalau ada yang belum bisa, mereka minta bantuan untuk disebut hurufnya saja dan mereka yang menulis sendiri. Di akhir sesi, saya sempat membagikan permen dan banyak buku di kelas ini. Cerdas-cerdas dan saya turut bangga pada usaha keras guru-guru yang telah susah payah dalam pengabdiannya membangun pondasi bagi masa depan anak-anak ini.

Alhamdulillah sesi kelas dan tugas saya sebagai inspirator usai. Anak-anak kemudian berlarian ke sisi selatan bangunan sekolah. Di situ sudah tersedia sebuah miniatur pohon. Pohon harapan namanya. Di situlah anak-anak menempelkan daun-daun yang udah mereka tulis dengan cita-cita mereka. Saya tidak sempat mendampingi mereka, karena mengobrol dengan Pak Darwis, sang kepala sekolah. ‘’Jujur saya kaget. Saya pikir hanya guru yang bisa mengajar di kelas, tetapi ternyata seorang wartawan melakukan hal luar biasa dan itu tidak kami sangka-sangka,’’ ujarnya kepada saya sambil menyalami tangan saya erat-erat.

Pak Darwis merasa waktunya terlalu singkat. Hanya sehari dan itu menurutnya tidak cukup. ‘’Minimal tiga hari baru terasa,’’ katanya. Bahkan guru lain mengusulkan bukan hanya siswa yang diberi inspirasi, tetapi juga para guru muda. ‘’Supaya mereka lebih semangat,’’ ujarnya.

Pak Darwis juga heran karena tahu saya yang ‘hanya’ seorang wartawan tetapi sekolahnya sampai Strata 2. Saya memang menyelesaikan S2 di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang tahun 2010 lalu. Saya ambil Magister Kebijakan Publik. Saya sadar untuk menjadi wartawan saya harus terus belajar dan belajar. Bukan sekadar untuk koleksi gelar dan gagah-gagahan.

Usai sudah kegiatan KI di SDN 2 Rite. Kami harus segera meluncur ke Wera, untuk bergabung dengan tim lainnya. Acaranya masih akan berlanjut hingga Minggu siang. Sebelum meluncur ke Wera, kami disuguhi makan siang. Ada menu soup ayam yang sangat nikmat. Ada sambal khas dan ada pula ayam bakar. Lengkap rasanya pelayanan guru-guru di SDN 2 Rite, Kecamatan Ambalawi ini. Terima kasih yang tulus buat pak Darwis dan ibu. Terima kasih kepada Pak Amin, Pak Burhan, Pak Hairuddin, Ibu Julaiha, Ibu Elpipit, Ibu Sarafiah, Ibu Hairunnisa, Ibu Sri Rahmawati, Ibu Faindah, Pak Sudirman, dan lain-lain. Resep sup ayam yang disajikan katanya merupakan racikan dari Ibu Hairunnisa. Terima kasih ya bu. Saat sesi foto bareng dengan siswa dan guru, saya sempat selfie dengan Pak Kasek, dan ibu-ibu guru. Kenangan yang tidak terlupakan telah terukir di sekolah ini. Saya senang telah manjadi bagian dari KI 2 Dana Mbojo. Semoga di masa datang masih bisa bergabung. Terima kasih juga buat kawan-kawan fasilitator, videografer, fotogarafer, juga kawan-kawan Pengajar Muda Indonesia.

Saya sangat berharap ide KI ini bisa terus berlanjut di tingkat Kabupaten maupun Kota Bima. Bila perlu seluruh sekolah bisa kebagian giliran. Mungkin tidak lagi dilaksanakan oleh Indonesia Mengajar, tetapi bisa oleh siapa saja dengan ide yang sama. Yang punya kepedulian dan ketertarikan dengan pembangunan sumber daya manusia di daerah ini. Pasti bisa, karena konsepnya sangat sederhana. Tanpa biaya, sukarela, dan dilakukan oleh para volunteer yang hanya ingin berbagi dan mengabdi. Apakah Anda juga ingin bergabung?

            *) Khairudin M. Ali, Inspirator Kelas Inspirasi 2 Dana Mbojo di SDN 2 Rite Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima, NTB.

 

 

           

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Berita

Jakarta, Bimakini.- NTB, khususnya Pulau Sumbawa memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi salah satu contoh atau rolemodel yang visionable atau berkelanjutan. Hal itu...

CATATAN KHAS KMA

ADALAH Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial (InSPIRASI) NTB pada 7 Desember 2019 lalu, mencanangkan gerakan Save Teluk Bima. Kegiatan dua hari itu, menjadi heboh...

Berita

PANITIA Kelas Inspirasi (KI) mengundang secara terbuka para pekerja profesional untuk terlibat sebagai inspirator.  Mereka hadir di depan kelas da diberikan kesempatan mengajar sehari...

Berita

HARI begitu cerah. SDN O’o yang dikeliling pepohonan rimbun di puncak Donggo, lumayan sejuk. kegaduhan siswa yang mengikuti Kelas Inspirasi (KI) membuat sekolah itu...

Berita

  BEL sekolah dipukul lagi oleh fasilitator. Bunyinya nyaring karena dibuat dari potongan besi pipa yang digantung. Jika sebelumnya sebagai aba-aba untuk berganti kelas,...