Bima, Bimakini.com.- Konflik antarsimpatisan Paslon saat berkampanye, dinilai karena masih memakai pola mobilisasi massa untuk mengukur adanya pendukung. Semestinya cara mobilisasi tersebut tidak relevan dengan kondisi masa kini. Panwas dan KPU diminta lebih peka menjalankan aturan.
Akademisi meminta penyelenggara menyiapkan pola kampanye yang lebih tepat menyesuaikan dengan suasana terkini. Seperti disampaikan Akademisi Dr Ibnu Kholdum, MSi, dikonfirmasi Rabu (7/10/2015).
Munculnya konflik antar simpatisan, menurutnya, karena belum ada agenda serius yang disediakan Paslon dalam rangka menyusun formulasi kampanye. Mengapa belum serius, karena tujuan kampanye adalah mengubah atau meningkatkan pemilih tradisional menjadi pemilih nasional. Harus memiliki program
nasional yang menjawab persoalan masyarakat. “Formaluasi ini yang dipakai sejak ditetapkan kampanye itu, merupakan formulasi tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian,” jelas Ibnu di kampus STKIP Taman Siswa Bima, Rabu.
Mengapa sudah tidak relevan? Katanya, karena mobilisasi kampanye melibatkan monologis seperti ini adalah tatapelaksanaan kampanye pada masa Orde Baru, seharusnya sudah lama dikritik oleh Paslon sendiri. Seharusnya Paslon memyediakan program mencerdaskan masyarakat. “Program yang empati terhadap situasi dan kondisi masyarakat tersebut, ketimbang menghabiskan anggaran memobilisasi msasa,” ungkapnya.
Namun, pada sisi lain, Paslon menilai melalui memobilisasi massa berarti memiliki massa banyak. Menurutnya, persepsi seperti itu boleh saja, namun Ibnu tetap menegaskan itu belum relevan, kalau mau mengoganisasi dan menyusun agenda mobilisasi, itu bisa melakukan pendekatan-pendekatan ilmiah.
“Sejak masa Reformasi, pendekatan ilmiah sudah dilakukan oleh yang berkepentingan untuk mendapatkan simpatik atau dukungan pemilih,” katanya.
Dilanjutkannya, pendekatan ilmiah sudah dilakukan saat itu melalui survai, FGD dan diskusi. Cara seperti itu jauh lebih professional. Survai harus dilakukan, karena bukan ukuran lagi melibatkan banyak orang bisa diukur otomatis pendukung. Karena orang yang hadir bukan sepenuhnya suka terhadap figure.
“Ada banyak varian kehadiran mereka di tengah ribuan orang. Di antaranya, selain menjadi hiburan, tingkat pengganguran tinggi, masyarakat butuh hiburan dan mereka turut menilai dan melihat apa disampaikan,” terangnya.
Ditegaskannya, ada 45 persen pemilih di Kabupaten Bima yang belum menentukan pilihannya sejak bulan Agustus sampai September. Dia menilai, angka itu sangat besar dan melebihi angka pencapaian survai LSI dan KCI. “Sudah tidak relevan melibatkan masa yang banyak terus mengelaim 100 persen
mendukungnya, istilah itulah yang harus digunakan Paslon,” katanya.
Dikatakannya, KPU kurang tegas memberikan sosialisasi, tingkat Perguruan Tinggi saja kurang ada ssosialisasi tentang PKPU dan batas-batas kampanye,
mobilisasi dan berapa keterlibatan masa dalam kurung waktu berapa lama. “Itu sangat perlu. Kita melihat kurangnya sosialisasi, artinya kurang progress kemajuan yang signifikan dilakukan KPU dan Panwas,” nilainya.
Semestinga setiap pekan harus ada evaluasi pola kampanye yang dilakukan Paslon. Stiap bulan harus ada tindakan-tindakan terhadap apa
bentuk pelanggaran dilakukan. Hal ini belum kelihatan di KPU dan Panwas.
“Kita mengimbau Paslon harus mampu menyiapkan pola kampanye yang lebih tepat, menyesuaikan dengan suasana terkini. Sekarang volume kendaraan meningkat naik mobil maupun motor, masyarakat Bima adalah masyarakat mobilitasnya tinggi harus diperhatikan oleh Paslon dan tim,” ujarnya.
“Kok dengan kejadian seperti ini, masih ada upaya mobilisasi, mestinya berempati dengan kejadian seperti ini yang membuat kerusakan dan menimbulkan korban,” sarannya.
Dia berharap Paslon lebih peka atau lebih empati terhadap suasana yang sedang guncang. Bahkan, pimpinan Kepolisian pun turun langsung di lapangan karena melihat ekskalasi potensi konfliknya yang sudah meningkat. (Herman)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.