Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Waterfront City

Oleh: Raani Rasyad

Kota Tepian Air. Jargon baru Kota Bima, menawarkan kita banyak perubahan. Loncatan dari sekadar kota pantai tradisional menjadi kota modern yang menjadikan air–dalam hal ini Teluk Bima–sebagai nilai jual utamanya. Kota bima yang kian molek bersolek patut diapresiasi. Dari sisi perencanaan, kota ini telah sukses memilih “visi”-nya, yakni gambaran ‘bentuk kota’ yang hendak dicapai ke depan.

 

Pada sisi lain, patut diwaspadai bahwa pengembangan kota dengan teluk sebagai titik ungkit, akan justru menimbulkan ketimpangan wilayah antara front and back side. Wajah utama kota dan daerah belakangnya. Sebab penumpukan fasilitas akan cenderung mendorong penumpukan aktivitas pada titik yang sama. Agar tidak terlalu jauh, mari kita tengok pembangunan pasar baru yang kemudian menjadikan peningkatan aktivitas di seputaran Ama Hami-yang selama ini dinikmati sebagai spot wisata keluarga dan gerbang Kota Bima-berlipat ganda. Tidak hanya soal kemacetan yang mencuat, tetapi juga berbagai persoalan mulai dari penimbunan laut oleh pihak perorangan maupun kelompok untuk kepentingan bisnis perdagangan hingga polemik hak guna tanah dan pelanggaran garis sempadan pantai yang pada gilirannya menggerus kemolekan wajah Waterfront City itu sendiri.

Saat ini dari arah Lawata pemandangan kurang manis berupa kios terpal dan jajakan pedagang menyambut tamu kota (sekali duakali pernah mendapat complain dari tamu luar daerah soal ini). Belum lagi polusi udara yang samar-samar menyela makan malam romantis Anda di Ama Hami. Sampah yang berserakan dan atau biota laut yang tercemar limbah cair.

     Maka pada titik ini, selain terjadi penumpukan aktivitas barang dan jasa juga terjadi konflik kepentingan antara Ama Hami sebagai lokasi wisata keluarga, gerbang kota, landmark Bima dan tempat nongki ABG kekinian dengan lokasi perdagangan komersial yang secara sadar harus kita akui, masih dikelola secara tradisional, yang menjadikan Ama Hami tidak senyaman dulu.

Poin lain adalah, ketika kata Waterfront City dipilih untuk menjadi ‘visi’ kota ini, maka semoga saja dalam gambaran besarnya, air tidak selamanya diasosiasikan dengan laut. Karena di Belanda dan Venice –tempat ternama dengan water management-nya–pengelolaan Waterfront City tidak hanya mencakupi laut dan pantai, tetapi juga sungai, kanal. dan danau yang pada ujungnya juga tentang hutan dan open space, tempat sumber dan perlindungan air berotasi.

Saat indah ketika mengenang betapa kita bisa bersepeda  sepanjang sisi sungai mashaveen. Rumah-rumah, toko-toko dan fasilitas publik lainnya tidak menyadikan sungai, kanal atau pantai mereka sebagai ‘halaman belakang’ melainkan view utama dimana bangunan menghadap ke arah tersebut.  Ini diatur dan dikelola  secara ketat melaui peraturan tertulis dan pesan moral keseharian. Di Belanda, di sisi sungai besar dan lebar selalu tersedia sempadan sungai, lalu jalan umum dan atau taman pembatas, baru kemudian bangunan bangunan rumah atau kompleks lain. Pada titik tertentu, koneksi antarwilayah di sisian sungai tidak saja disambungkan oleh jembatan, tetapi juga terowongan bawah air. kebayangkan bersepeda menyeberang sisi sungai dengan suara deru air di samping dan di atas kepala kita? Pengalaman yang amazing–pinjam istilah anak sekarang.

  Di Venice–kota di atas air–transportasi darat merupakan hal   langka dan sangat tidak recomendid. Di kota ini, air adalah segalanya. Sumber keindahan, sekaligus matapencaharian masyarakat. Meski segala jenis transportasi air telah tersedia, tetapi pengalaman menaiki perahu tradisonal Venice merupakan hal  ekslusif. Mahal pake bingitss. Yang ajaibnya tetap diminati sepanjang waktu.

Kembali ke Kota Bima tanah tercinta, maka jauh-jauh hari sebelum ‘visi’ Kota Tepian Air-Teluk Bima-kita terpatri dengan pendekatan yang linear. Ada baiknya, sesaat-saat ini-kita juga menengok sungai-sungai dan kanal kita. Beberapa saja yang bisa diingat, misalnya Sori Padolo yang membelah Kota Bima, Sori Bedi tempat masa kecil, berendam, melompat dari Wadu Nae dan menyelam ngepe uta, serta kanal Dam Rontu yang membagi  wilayah Raba-Rontu. Atau beberapa sungai, kanal dan dam lain yang dimasa depan-secara apik-juga dapat membentuk, mengangkat dan memberikan kontribusi elok bagi ‘visi’ Waterfront City of Bima.

Adalah angan indah, jika kelak suatu hari, dari kampung halaman saya di Wombo Doro Bedi, bisa bepergian melalui jalur air menuju Kota Bima. Keluar tepat di sisi jembatan Padolo. Menemukan warung nasi Padang dan berlari sebentar–di trek pedestrian-menuju Ama Hami, dan kemudian lesehan dengan para sahabat tercinta di sana. Berbaur bersama Komunitas satra, komunitas penulis, komunitas tukang jepret, komunitas kajian atau komunitas lain yang sama-sama serunya.

Yah, sekadar me-refresh visi kita, Waterfront City untuk Kota Bima seyogyanya tidak sekadar teluk dan pantai. Tetapi, integrasi harmonis antara hulu dan hilir, antara wilayah front and back of the city. Antara ruang kota dan warganya. (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait