Connect with us

Ketik yang Anda cari

Jalan-jalan

Catatan Perjuangan dan Perjalanan dari Bima ke Amerika

Tulisan ini merupakan bagian awal dari kisah yang lebih panjang tentang perjalanan Syahrir Idris menjelajah desa dan kota, pedalaman, dan pesisir Amerika. Selain itu, bunga rampai berbagai isu yang sempat  direkam dengan pena selama studi lima tahun terakhir.  Syahrir Idris adalah  Ph.D Candidate Culture, Literacy, and Language Program University of Texas at San Antonio. Berikut kisahnya.

*******

 

Syahrir Idris

Syahrir Idris

Pernahkah Anda ke luar negeri atau bercita-cita ke sana? Berkunjung ke luar negeri, apalagi sekolah di Amerika Serikat, laksana mimpi yang menjadi kenyataan dalam hidup saya. Berbeda dengan mimpi yang sekejap sirna begitu kita terjaga dari tidur. Ini adalah cita-cita masa remaja yang mulai bersemayam sejak saya sekolah di SPG Negeri Bima. Cita-cita itu baru terwujud belasan tahun kemudian setelah saya selesai kuliah S1 Bahasa Inggris di Unram,  menjadi dosen dan guru di Lombok.

Cita-cita ini terilhami dengan program pertukaran pelajar dan pemuda antarnegara yang kemudian didorong oleh motivasi pengembangan diri dan peningkatan prestise sebagai guru bahasa Inggris. Cerita perjalanan ke Amerika bermula sekitar awal tahun 1999. Saya membaca pengumuman di surat kabar terbitan Mataram bahwa American-Indonesian Exchange Foundation (AMINEF) di Jakarta membuka kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk melanjutkan pascasarjana di Amerika dengan beasiswa Fulbright. Saya pikir ini kesempatan baik. Lalu saya kumpulkan bahan-bahan dan lengkapi persyaratan yang diminta. Tiga syarat utama yang menyita waktu dan energi saat itu adalah proposal studi, nilai TOEFL minimal 500, dan referensi atasan dan dosen.

Syahrir bersama keluarga.

Syahrir bersama keluarga.

Untuk proposal studi, saya harus membaca berbagai literatur untuk mencari topik yang menarik dan cocok.  Berdiskusi dengan orang yang sudah pernah kuliah di luar negeri. Untuk mendapatkan referensi dari dosen, saya tidak mengalami kesulitan karena para dosen dan pembimbing saya di Unram senang hati menuliskannya. Bahkan, mereka terus memotivasi saya. Bagian lain yang sangat krusial dari aplikasi saya adalah persiapan TOEFL, karena sampai saat itu saya belum begitu akrab dengan dengan tes ini–seperti apa dan bagaimana tingkat kesulitannya.

Untuk persiapan ujian saya mencari pinjaman buku dan kaset pada seorang kenalan yang berbaik hati. Berkat belajar dan latihan dengan buku dan kaset-kaset pinjaman itu saya mendapat TOEFLprediction 566, skor yang cukup bagus untuk pendaftaran awal (preliminary application) untuk Fulbright scholarship. Hanya saja, untuk referensi atasan, saya harus banyak bersabar karena prosesnya cukup berbelit, bahkan hampir menggagalkan pencalonan saya.

Awalnya, saya berpikir untuk mencoba-coba dengan application ini dengan harapan dipanggil wawancara ke Jakarta dengan tiket pesawat pulang-pergi gratis, yang menurut saya sudah cukup bagi ikhtiar pertama. Namun, para pembimbing terus menyemangati bahwa saya berpeluang besar untuk lulus ke Amerika, karena beberapa alasan. Pertama, prestasi pendidikan saya dinilai bagus dengan indikator IPK di atas 3 dalam skala 4 saat itu dan perolehan beasiswa sebelum dan selama saya kuliah. Kedua, keterlibatan sosial saya cukup luas dan intensif  di organisasi mahasiswa intra maupun ekstra kampus dengan kepemimpinan yang cukup teruji.

Sekadar ilustrasi, saya pernah aktif di HMPS Bahasa Inggris dan menjadi Ketua, di Gema KOSGORO saya Ketua Cabang Kota Mataram, dan  Ikatan Mahasiswa Bima saya Ketua Umum. Ketiga, proposal studi saya dinilai cukup bagus, TOEFL juga cukup bagus, dan referensi dari dosen dan atasan semuanya kuat dan dan meyakinkan. Bermodalkan prestasi akademik, keterlibatan sosial, dan kepemimpinan di organisasi kemahasiswaan, yang ditopang dengan proposal, TOEFL dan referensi yang ada, mereka meyakinkan saya bahwa saya akan diterima. Bahkan,  seorang konsultan saya berkata, “Proposal Anda bagus sekali. Kalau saya menjadi tim penilai, maka saya akan meluluskan Anda.” s2

Perkiraan mereka mulai tampak terbukti. Saya diundang wawancara, tetapi tidak mendapatkan tiket pesawat gratis ke Jakarta, seperti yang saya dambakan karena wawancaranya diselenggarakan di Mataram, tepatnya di Unram. Celah waktu antara pemberitahuan wawancara dengan pelaksanaannya yang hanya beberapa hari saya manfaatkan untuk mempersiapkan diri. Saya kembali berkonsultasi dengan mereka yang sudah pernah mengalami wawancara tentang berbagai pertanyaan yang mungkin muncul dan cara menjawabnya dengan tepat.

Secara khusus, saya datang belajar pada teman saya Allan Mark, orang Amerika yang bekerja sebagai volunteer di Mataram. Saya memberitahukan bahwa saya dipanggil wawancara dan akan menghadapi pewawancara dari dua bangsa—Indonesia dan Amerika. Saya bertanya kepadanya, “Pertanyaan apa yang biasa diajukan oleh orang Amerika dalam wawancara dan bagaimana cara orang Amerika menjawab pertanyaan tersebut?” Allan merespons dan memberikan beberapa contoh pertanyaan yang biasa muncul berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya disertai cara menjawabnya secara detail. Keesokan harinya pertanyaan-pertanyaan yang saya pelajari itu muncul dari pewawancara asal Amerika.

Ketika dua teman yang juga diinterview di samping saya menjawab pertanyaan itu, pewawancara meresponsnya dengan ekspresi biasa, tetapi ketika giliran saya menjawab pertanyaan itu dengan “cara Amerika” yang diajarkan Allan, saya melihat pewawancara tersebut mengangguk setuju. Dari situ saya berkeyakinan, jika dari kelompok saya ada satu yang dipilih, maka saya akan terpilih karena saya juga percaya pada kapasitas panelis bahwa mereka akan memberikan penilaian yang objektif. Singkat cerita beberapa waktu kemudian saya mendapat pemberitahuan bahwa saya bersama dua teman dari NTT diterima dari delapan atau sembilan calon yang dipanggil wawancara.

Namun, perjuangan belum selesai, bahkan pengorbanan pun baru dimulai. Saya dipanggil untuk mengambil international TOEFL dan GRE di Surabaya dengan jadwal yang hampir sama dengan perkiraan hari kelahiran anak saya yang pertama. Saya menelepon AMINEF di Jakarta, mencoba meminta penyesuaian jadwal tes, tetapi tidak bisa. Empat hari sebelum saya ikut tes, istri saya menjalani operasi Caesar karena menurut dokter bayi dalam kandungannya terlilit tali pusar. Dua hari sebelum tes, saya berangkat dari Rumah Sakit Umum Mataram atas restu keluarga, terutama ibu dan istri, meninggalkan istri yang masih lemah dan bayi dalam oven, menuju Surabaya.

Sepanjang perjalanan darat dan laut sekitar 16 jam, pikiran saya sulit lepas dari bayangan anak dan istri yang ditinggal di rumah sakit. Saya hanya bisa berdoa memohonkan keselamatan untuk mereka dan kesuksesan bagi saya dalam tes yang dijalani. Selesai ujian saya bergegas kembali ke Mataram, dan langsung menuju rumah sakit untuk menemui anak dan istri saya yang  ditinggalkan di situ. Di situ, saya tidak menemukan mereka lagi. Ternyata, mereka telah pulang ke rumah beberapa jam sebelum saya tiba.

Ujian belum selesai, walaupun saya telah dinyatakan lolos seleksi sebagai penerima beasiswa Fulbright dan dinyatakan diterima di Ohio State University (OSU), persoalan baru muncul. OSU mengeluarkan estimasi biaya kuliah dan biaya hidup setahun yang nilainya lebih tinggi US$9,000-an dari plafon beasiswa Fulbright. Saya dihadapkan pada dua pilihan, mengusahakan sendiri  tambahan dana sebesar itu atau mengundurkan diri dari pencalonan sebagai penerima beasiswa. Saya bingung dan stres. Saya bingung memikirkan cara mendapatkan uang sekitar Rp100-an juta, sementara gaji saya sebagai guru PNS golongan III/a dengan masa kerja baru saja genap tiga tahun dengan gaji sekitar Rp500-an ribu per bulan. Saya stres karena terbayang perjuangan yang demikian lama dan penuh pengorbanan untuk melanjutkan studi ke Amerika kandas di tengah jalan justru ketika saya sudah dinyatakan lulus di OSU. Dalam kegalauan, Allah menghadirkan pertolongan-Nya.

Melalui  jaringan KOSGORO saya diperkenalkan dengan Kepala Biro Umum Setda NTB, yang selanjutnya memertemukan saya dengan Gubernur NTB saat itu. Setelah mendengar persoalan yang saya hadapi,  ubernur menuliskan rekomendasi bahwa beliau akan menganggarkan bantuan untuk saya bila benar-benar sudah berada di Amerika. Untuk sementara saya merasa lega dengan adanya rekomendasi tersebut.

Namun, seperti kata penyair Khairil Anwar, “perjuangan belum selesai.” Pada waktu Konferensi dan Pembekalan Pra-Keberangkatan (pre-departure conference) Fulbright di Yogyakarta, seorang pejabat AMINEF memberitahukan bahwa saya belum mendapatkan surat izin belajar dari Kakanwil Depdikbud. Padahal, instansi itu telah disurati tiga bulan sebelumnya. Tampaknya perjuangan saya menuju Amerika masih terkendala surat izin belajar.

Dalam waktu yang sama pejabat tersebut juga mengingatkan saya bahwa rekomendasi Gubernur NTB tentang dana tambahan untuk saya masih terlalu umum, sementara yang diinginkan adalah pernyataan secara eksplisit tentang jumlah yang akan diberikan. Saya kembali risau memikirkan cara menyampaikan ini kepada  Gubernur, padahal untuk menghadap saja sulit, apatah lagi untuk datang menagih janji. Dua tantangan besar masih harus diliwati padahal waktu keberangkatan sudah kurang dari satu bulan lagi. Ketika teman-teman lain tampak gembira dengan orientasi karena sebentar lagi mereka akan berangkat, saya merasa belum pasti.

Namun, di penghujung kesulitan datang kemudahan; di ujung lorong gelap terbit cahaya terang sesuai dengan janji Allah dalam Surat Al-Insyirah, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, dan sungguh bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Alhasil, masih dalam masa orientasi di Yogyakarta, saya menerima pemberitahuan bahwa saya juga diterima di Ball State University dengan biaya yang jauh lebih murah sehingga saya hanya perlu mencarikan tambahan sekitar US$2,500. Kalau untuk jumlah ini saya bepikir saya bisa berhutang atau menjual aset keluarga yang ada, yang penting bisa ke Amerika. Beberapa puluh menit kemudian, saya memberanikan diri menghadap Bendahara AMINEF mengemukakan kegundahan saya tentang biaya yang harus saya carikan. Beliau menanggapi bahwa saya tidak perlu lagi risau  masalah uang; AMINEF masih cukup punya uang untuk membiayai saya, tetapi AMINEF ingin menguji kesungguhan saya dalam pencalonan ini, dan saya telah menunjukkan kesungguhan itu sampai bisa mendapatkan rekomendasi Gubernur.s1

Saya lega setelah mendengar penjelasannya. Satu masalah telah terpecahkan, tinggal surat izin kakanwil. Lagi-lagi muncul jalan keluar. Pak Piet, pejabat AMINEF menawarkan solusi bahwa saya akan mengantarkan sendiri surat permohonan izin susulan ke kakanwil dan satu salinannya untuk saya sendiri. Saya kembali dari Yogyakarta dengan hati lega dan segera mengantarkan surat untuk Kakanwil dan mendapat respons  cepat dari beliau. Hari itu juga surat izin untuk saya ditandatangani, dan pada hari itu juga surat AMINEF tiga bulan sebelumnya ditemukan “terselip” di meja salah seorang staf di kantor itu. Tetapi, saya tidak perlu ceritakan siapa orang itu dan bagaimana dia dimarahi oleh atasannya atas “kelalaian”nya yang hampir menggagalkan cita-cita saya ke Amerika.

Menyusul kepulangan saya dari Yogya, saya menerima e-mail dari Pak Piet bahwa saya juga diterima di University of Texas at San Antonio (UTSA) dengan biaya dalam plafon Fulbright disertai komentar beliau bahwa apabila dana menjadi pertimbangan utama bagi kelanjutan studi saya, maka pilihan yang harus diambil adalah kuliah di San Antonio. Saya setuju  saran beliau dan akhirnya saya memilih kuliah di San Antonio. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan jalan keluar bagi saya sehingga akhirnya dapat berangkat ke Amerika dengan beasiswa Fulbright.

Bersama seorang teman sesama penerima beasiswa Fulbright, Adriana asal Alor NTT, saya berangkat dari Jakarta tanggal 27 Juni 2000 menumpang pesawat milik maskapai Emirates menuju Singapura. Setelah menginap semalam di Negeri Singa, kami terbang ke Tokyo dengan maskapai Northwest. Sore hari tanggal 28 Juni pukul 4:00 waktu Tokyo, perjalanan dilanjutkan ke kota San Francisco.

Di bandara San Francisco saya dan Adriana dijemput oleh pastor bernama John Chamberlain, yang kemudian mengantarkan kami ke Stanford University di kota Palo Alto, sekitar 45 menit berkendaraan dari San Francisco. Di Stanford University, kami mengikuti kuliah musim panas selama enam minggu sebagai orientasi akademis sebelum saya memulai program S2 di University of Texas at San Antonio (UTSA).

Hari-hari di Stanford terasa serba baru bagi saya—kota baru, negara baru, cuaca dan iklim baru, pemandangan baru, aktivitas baru, pengetahuan baru, pengalaman baru, dan wawasan baru. Sebagai contoh, iklim dan cuaca di Palo Alto maupun San Francisco jauh berbeda dengan Mataram. Walaupun musim panas, kedua kota itu tetap dingin. Khusus mengenai San Francisco, pujangga Amerika bernama Mark Twain pernah berkata, “The coldest winter I’ve ever experienced is the summer in San Francisco.”  Selama kuliah musim panas di Stanford, saya tetap memakai baju berlapis dan jaket dengan kepala terselubung (hood). Suatu sore tanggal 3 Juli saya sempat menggigil ketika berjalan di pebukitan di ujung utara jembatan Golden Gate saat menyaksikan kesibukan masyarakat mempersiapkan diri menyongsong malam kemerdekaan Amerika yang biasanya disemarakkan dengan pesta kembang api.

Pemandangan di kota dengan gedung, bangunan, taman, jalan yang bersih dan tertata rapi mengundang kekaguman saya betapa tingginya apresiasi masyarakat akan keindahan dan keteraturan. Kampus Stanford saat itu saya ibaratkan kampus di tengah taman yang indah, yang di dalamnya berdiri bangunan-bangunan megah dengan arsitektur yang mengagumkan. Tentang keindahan dan keteraturan ini saya pernah ceritakan melalui surat kepada pejabat-pejabat tertentu di Bima dan NTB siapa tahu bisa menjadi inspirasi bagi mereka untuk menata kotanya. Menurut saya dengan sedikit inisiatif dari para pemimpin dan kerja sama yang baik dari berbagai komponen masyarakat, banyak karya besar dan monumental yang bisa dihasilkan atas dasar motivasi untuk kesejahteraan rakyat, sepanjang korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat diminimalisir.

Kemudian aktivitas saya sehari-hari di Stanford adalah kuliah dari jam 09:00 pagi sampai jam 05: 00 sore mulai Senin-Kamis. Sisanya untuk kerjakan PR dan istirahat. Beberapa kali saya menghadiri undangan makan malam oleh teman-teman dari Jepang. Sekali saya diajak makan siang oleh Pastor Chamberlain ke tempat tinggalnya, yakni semacam rumah dinas baginya di dalam kompleks gereja yang dipimpin oleh istrinya. Kali lain ia mengajak kami berwisata keliling kota San Francisco. Ia menunjukkan tempat-tempat bersejarah dan tempat wisata yang sering dikunjungi, antara lain gedung tempat Piagam San Francisco ditandatangani, Konsulat Jenderal RI, dermaga nelayan, dan tentu saja rumah makan Padang untuk makan siang setelah kami capai berkeliling. Kegiatan saya yang agak rutin di Stanford adalah menghadiri kajian Al-Quran yang diselenggarakan oleh Muslim Students Association di mana saya bisa berkenalan dengan mahasiswa Muslim dari berbagai negara di dunia. Semua aktivitas dan pengalaman bertemu dan belajar dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang agama, etnis dan ras memberi kesadaran baru bagi saya akan perlunya dikembangkan semangat saling menghormati, bekerja sama, dan menghargai satu sama lain dalam rangka kemaslahatan bersama seluruh umat manusia.

Dari Stanford saya pindah ke San Antonio bulan Agustus 2000 untuk memulai kuliah musim gugur. Sangat kontras dengan Palo Alto dan San Francisco, San Antonio sangat panas sehingga selama musim panas hingga paruh awal musim gugur kami disarankan untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan kecuali betul-betul dibutuhkan. Bagi saya tinggal dalam rumah sambil belajar dan mengerjakan PR tidak ada masalah, justru mendukung tugas-tugas kuliah. Saya hanya keluar rumah kalau pergi kuliah, kerja kelompok di kampus, ke masjid, ke pasar swalayan, nonton pertandingan basket, atau jalan-jalan ke River Walk. Saya suka pergi ke River Walk karena senang dengan sungai buatan yang mengalir di bawah pohon-pohon rindang dan dipagari hotel-hotel pencakar langit. Di samping bebas tiket masuk, transportasi ke River Walk dengan bus ekspres dari kampus saya juga gratis. Dengan menunjukkan kartu mahasiswa, dulu saya bisa naik bus ekspres kapan saja bus itu beroperasi.

Selama kuliah saya senang mengamati perilaku orang di dalam maupun di luar kampus dan mencoba membanding-bandingkan dengan diri dan masyarakat saya. Di dalam kampus saya sering mengamati perilaku mahasiswa, dosen, dan staf di situ. Mahasiswa dan dosen biasanya sudah berada di kelas sekitar 5-10 menit sebelum kuliah  dimulai. Sambil menunggu waktu tiba, mahasiswa berbincang-bincang santai, termasuk dengan dosen, dan begitu waktu tiba dosen langsung mengambil alih pembicaraan dan memulai kuliah. Demikian pula ketika jam kuliah sudah selesai, dosen dan semuanya seperti dikomando untuk berhenti. Ketika dosen tidak masuk suatu ketika, biasanya karena menghadiri seminar, simposium, atau konferensi, maka dia akan menuliskannya dalam jadwal kuliah atau mengumumkannya kepada mahasiswa dan memberitahukan dosen penggantinya. Sepanjang semester, kuliah berjalan sesuai dengan jadwal tanpa ada pembatalan atau penundaan, apapun alasannya. Saya pun berusaha menyesuaikan diri. Tampaknya semua orang membuat rencana matang jauh di awal dan mengikuti jadwal itu dengan konsisten. Pengalaman ini memberikan pelajaran kepada saya betapa kedisiplinan dihargai sangat tinggi dalam lingkungan dan kultur akademis sehingga setiap orang merasakan adanya kepastian dalam proses dan hasil kerjanya.

Dengan modal kedisiplinan dan pembagian kerja yang jelas setiap orang bekerja sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing tanpa khawatir diserobot oleh orang lain. Mereka juga tidak bisa ogah-ogahan bekerja karena setiap pekerjaannya dimonitor dan dipertanggungjawabkan tanpa bisa melepaskan tanggung jawabnya kepada orang lain. Sebagai contoh, seorang petugas kebersihan di kampus tetap membersihkan kamar kecil secara teratur ada atau tidak ada pengawas di sampingnya, dan pekerjaan dia tidak diinterupsi oleh siapapun saat jam kerjanya berlangsung. Demikian pula seorang mahasiswa tidak bisa mengatakan bahwa ia gagal mengumpulkan tugas tepat waktu karena harus menyelesaikan tugas lain dari profesor tertentu misalnya. Jadi, semua orang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya masing-masing tanpa boleh menimpakan kesalahan kepada orang lain apabila ia gagal melaksanakannya.

Pelajaran lain yang saya peroleh dari kuliah di Amerika adalah perlunya kita menjaga kepercayaan dan hubungan baik dengan para dosen dan teman-teman kita meskipun kita sudah selesai kuliah. Beberapa kali saya diundang profesor untuk hadir di acara mereka. Karen tahu saya tidak punya kendaraan sendiri dan tidak tahu jalan, mereka biasanya menawarkan jemputan atau mencarikan mahasiswa lain untuk mengantar dan mendampingi saya. Setelah kembali ke Indonesia saya sesekali mengirim e-mail kepada para profesor dan beberapa teman, walaupun sekedar bertanya tentang kabar terakhir mereka dan keluarganya. Dengan modal hubungan baik yang terjaga, maka saya tidak sungkan untuk meminta rekomendasi kepada mereka untuk berbagai keperluan. Ini terbukti dengan rekomendasi dari profesor saya di UTSA ditambah dari dosen-dosen saya di Universitas Mataram dan dari atasan di tempat saya kerja, saya diterima kembali untuk kuliah program doktor di UTSA dengan fellowship dari universitas.

Selama berada di Amerika, saya juga melakukan aktivitas organisasi intra dan ekstra kampus dan kegiatan sosial lainnya. Sebagai mahasiswa Muslim saya aktif hadir dalam rapat-rapat dan kegiatan Muslim Students Association (MSA) di kampus. Saya juga bergabung dengan Indonesian Muslim Student Association of North Amerika (IMSA; sekarang Indonesian Muslim Society in America)—aktif dalam diskusi di milisnya, mengikuti tele pengajian bersama, menghadiri muktamar di Pittsburgh, Pennsylvania, tempat di mana saya bertemu dengan beberapa pentolan mahasiswa maupun tokoh Indonesia di Amerika. Untuk penyaluran hobi dan mengisi waktu senggang, saya bergabung dalam UTSA Chess Club yang secara rutin menyelenggarakan latihan dan turnamen. Sekali waktu saya mewakili kampus pada cabang catur dalam turnamen olahraga regional (Midwest Conference) tingkat mahasiswa di North Texas University di Denton, semacam pekan olahraga mahasiswa regional Bali-Nusa Tenggara di  Indonesia dan meraih peringkat ke-4. Sayangnya, saya tidak memperoleh medali untuk dibawa pulang karena medalinya hanya untuk peringkat pertama dan kedua.

Dari Amerika saya juga melakukan kegiatan sosial bagi orang kurang mampu di tanah air dengan cara menyalurkan infak dari seorang dermawan di San Antonio kepada mereka. Untuk ukuran seorang dermawan di Amerika, uang yang disalurkan lewat saya mungkin tidak seberapa kalau dibelanjakan di San Antonio. Tapi nilai bantuan itu membesar ketika dikonversi ke dalam rupiah dengan nilai tukar yang mencapai Rp12.000 per dolar saat itu. Saya dilapori bahwa penerima infaq tanpa gembira dan bersyukur setiap kali menerima kiriman infaq. Dan saya yakin setiap kali itu juga mereka mendoakan kebaikan sang dermawan dan penghubungnya. Saya berpikir kehadiran saya di Amerika harus memberi manfaat langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat dan keluarga di kampung halaman.

Kuliah di Amerika merupakan kebanggaan besar dan kenikmatan tersendiri bagi saya dan keluarga bahkan bagi komunitas tempat saya lahir dan dibesarkan. Pencapaian ini terasa luar biasa mengingat latar belakang sosio-ekonomis keluarga dan masyarakat tempat saya lahir dan dibesarkan. Saya lahir di desa Tambe, kecamatan Bolo, Bima, NTB, dari orang tua petani dan pedagang bakulan. Ayah saya meninggal ketika  saya berusia delapan tahun dan selanjutnya saya bersama empat kakak dan seorang adik dibesarkan sendiri oleh ibu kami yang rela menjanda demi anak-anaknya. Di tengah kehidupan yang serba prihatin, ibu mengajarkan kami untuk selalu tegar dan terus mendorong kami untuk terus sekolah. Ibu sering memberi nasihat, “Cukup Ibu yang mencari nafkah di tanah becek dan berlumpur di bawah sengatan terik matahari, jangan kalian dan anak cucu Ibu. Kalian harus sekolah sampai setinggi-tingginya.”

Ibu saya meyakini dan telah membuktikannya melalui anak-anak dan cucu-cucunya bahwa pendidikan adalah investasi masa depan. Investasi yang beliau tanam melalui pendidikan anak-anaknya kini telah berbuah. Sekarang beliau menjalani hari tuanya di rumah, menanti cucu-cucunya datang untuk pamit ke sekolah dan minta uang saku ala kadarnya. Hari-hari yang sangat ditunggunya adalah hari-hari wisuda karena beliau senang menghadiri wisuda cucu-cucunya. Maka, ibu, istri, anak-anak, dan keluarga besar saya sangat senang dan bersyukur ketika mendengar kabar bahwa saya kembali diterima untuk menempuh kuliah program doktor di UTSA, universitas yang telah memberikan saya gelar akademik Master of Arts di bidang dwibahasa-dwibudaya. Semoga dalam dalam waktu dekat saya bisa kembali ke Indonesia dengan gelar PhD di bidang budaya, literasi, dan bahasa.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

Tur ziarah ke Kota Thaif HARI ke delapan, di tanah suci, rombongan jamaah umroh kami mengikuti program tur ziarah ke kota Thaif. Berikut lanjutan...

CATATAN KHAS KMA

Ziarah Perpisahan RANGKAIAN ibadah di Madinah selama tiga hari berjalan lancar. Semua jamaah satu group yang berjumlah sekitar 25 orang ditambah seorang balita dalam...

CATATAN KHAS KMA

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil...

CATATAN KHAS KMA

SAYA belum pernah alami ini: handphone tidak bisa dipakai karena panas. Bukan hanya sekali, Tetapi berkali-kali. Juga, bukan hanya saya, tetapi juga dua kawan...

CATATAN KHAS KMA

APAKAH saya harus senang? Ataukah sebaliknya? Entahlah! Tetapi begini: Waktu saya pertama membangun media di Bima, itu pada 21 tahun lalu, ada yang menyebut...