Gugatan terhadap rasa nasionalisme pelajar dan kaum muda telah lama menjadi topik hangat dibahas oleh berbagai pihak di Indonesia. Generasi masa kini seperti asing terhadap kekayaan budaya dan warna khas bangsanya. Mereka tidak cukup banyak mengenal siapa pahlawan nasional dan sejarah panjang perjuangan mereka hingga titik darah penghabisan. Generasi hari ini lebih familiar dengan segala atribut asing, ke-Barat-Barat-an. Apa saja yang muncul dari dunia Eropa atau Barat menjadi incaran dan tren. Padahal, muatan lokal Indonesia dan Dana Mbojo jauh lebih bernilai. Kekuatiran terhadap gejala berbahaya bagi karakter anakanak Mbojo ini disampaikan Wakil Wali Kota Bima, H A Rahman, Selasa (10/05/2016) lalu.
Ya, Wawali memang meresahkannya. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya luar semakin deras memasuki ruang Indonesia, bahkan hingga ke kamar pribadi kita. Melalui televisi, bacaan, dan tampilan gambar. Perubahan mencolok pada aras pola pikir perilaku generasi muda ini selayaknya terus diintai dan menjadi fokus perhatian bersama. Kondisi ini harus segera diubah. Tidak berkorelasi positif terhadap hasrat menyiapkan generasi muda yang berkarakter dalam semangat rasa nasionalisme tinggi. Jika rasa nasionalisme terusik, maka itu merupakan ‘penjajahan mental’ yang berbahaya. Bentuk penjajahan modern kini tidak lagi menginvasi wilayah, tetapi melalui gelombang arus informasi dan budaya.
Tentu saja anak-anak Mbojo harus segera diselamatkan, dibimbing lebih intensif lagi melalui sentuhan program dan kegiatan. Pemutaran film bertema nasionalisme atau kedaerahan, tampaknya perlu digalakkan lagi untuk memberi injeksi nasionalisme pada anak-anak kita, dimulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Upaya ini untuk mengimbangi ketertarikan mereka pada unsur luar negeri yang mendominasi. Coba simak saja keseharian generasi masa kini, mereka lebih hafal bintang Sinetron, penyanyi Barat, dan menggangrungi film Barat. Kondisi ini jelas merupakan tantangan bagi kalangan pendidikan, mereka ditantang bekerja keras lagi mengembalikan nilai-nilai budaya dan agama. Sejarah peradaban bangsa juga tidak boleh dilupakan.
Sekali lagi, penguatan rasa nasionalisme ini menjadi poin krusial untuk diwacanakan lebih luas lagi yang melibatkan pihak terkait. Kegusaran Wawali Kota Bima itu wajar, karena ketika generasi bangsa hari ini tidak lagi ‘welcome’ terhadap suasana kebatinan bangsa dan daerahnya sendiri, maka mereka akan kehilangan sandaran penting yang menopang perjalanannya mengarungi kerasnya pertarungan budaya dan ideologi ke depan. Mereka yang gagap terhadap kekayaan nilai dan identitas bangsanya akan gamang berdiri di persimpangan sejarah.
Mari mengukur kedalaman rasa nasionalisme kita hari ini. Apakah cukup kukuh dan kuat menghadapi kompleksitas arus modernitas yang semakin keras menampar…(*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.