Anda sudah mengakses beragam foto pada media sosial dan media online seputar upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-71 Kemerdekaan RI di Kota dan Kabupaten Bima? Di situ terlihat ragam perilaku peserta upacara. Ada yang bergerombol, terpisah dari barisan utama. Ada yang asyik mengobrol ngalor-ngidul membahas sesuatu. Ada yang bercanda ria, cuek bebek dengan rangkaian prosesi. Menikmati kopi di kedai pun ada. Malah, ada pula yang mengangkat tangan tanda hormat sambil duduk.
Ya, itulah dinamika berupacara kita saat perayaan Hari Besar Nasional. Berulang dan selalu berulang lagi. Seperti lingkaran tidak berujung. Suatu level penghayatan, pendalaman nilai nasionalisme, dan kedisiplinan yang masih rendah. Pertanyaannya adalah inikah bentuk kedisiplinan yang kita suguhkan untuk mengenang perjuangan para pahlawan bangsa? Sebegitukah semangat kita menghormati kibaran bendera Merah-Putih yang telah ‘merenggut’ nyawa pahlawan itu?
Mengapa kita tidak lagi memiliki fondasi kekuatan kaki hanya barang sebentar saja untuk menghargai nikmat kemerdekaan ini? Bagaimana kalau maju ke medan perang, menyabung nyawa seperti yang dilakukan para pahlawan saat menghadapi Belanda dan Jepang? Jika saja para pendiri bangsa dan pahlawan melihat kondisi dan level penghayatan kita terhadap makna kemerdekaan hari ini, mereka akan membatin penuh kesedihan. Geleng-geleng kepala. Karena hanya setipis itu saja inti pesan simbolik HUT Kemerdekaan mampu diresapi maknanya.
Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap pola dan mekanisme berupacara ke depan, agar tidak lagi menampilkan ‘produk payah’ kedisiplinan pegawai yang selama ini mencuat. Harus lebih ketat dan tanpa kompromi. Jika disimak, media massa sekarang berkecenderungan tidak lagi melihat dinamika di depan panggung kehormatan sebagai sorotan khusus. Itu hal biasa dan rutin terjadi. Justru, keragaman karakter peserta di barisan belakang menjadi objek menarik. Barisan yang sering mengoyak keindahan suasana.
Lalu bagaimana? Ataukah telah timbul kesadaran dan gugatan baru bahwa semua komponen peserta upacara selayaknya mulai diperlakukan sama. Tidak ada yang diistimewakan posisinya, sama-sama menikmati hangatnya terik mentari khas Dana Mbojo. Tidak ada lagi yang duduk nyaman di kursi empuk, di bawah menterengnya terop, dan dikipasi. Bagaimana pendapat Anda?(*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.