dokharianpilarcom
Ada yang perlu diatensi dari ketegangan antara warga Desa Mada Wau Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima dan Desa Mangge Nae Kabupaten Dompu, beberapa hari lalu. Mereka berebutan lahan pada batas wilayah, Doro Roso. Saling melempar batu. Syukurlah, eskalasinya tidak meluas. Pejabat dua pemerintahan dan aparat keamanan sigap menengahinya.
Ketegangan seperti itu memang harus cepat dipadamkan karena sangat sensitif di level ‘akar rumput’. Meski kondisi sudah adem-ayem, namun bibit konflik belumlah diamputasi. Seperti ekspresi tanggapan sejumlah pihak, pejabat dua pemerintahan dan Badan Pertanahan Nasional jangan sampai kalah cepat dengan keliaran emosi warga (petani) dua wilayah.
Dalam sejarah konflik, masalah lahan seringkali rumit ditangani dan membutuhkan kesigapan aparat menuntaskannya. Kasus Desa Oi Katupa Kecamatan Tambora Kabupaten Bima saat ini adalah sebagian contohnya, demikian juga di wilayah Lampung dan Sumatera. Konflik agraria kerap menyedot energi, bahkan merenggut nyawa dua belah pihak.
Tentu saja kita tidak berharap seperti itu. Masalah lahan di Doro Roso ini sudah terjadi sejak lama, terakhir terjadi tahun 2013 lalu. Doro Roso begitu seksi. Kita berharap melalui pembahasan bersama, verifikasi berkas, dan batas wilayah Bima-Dompu oleh lembaga yang berkompeten, ditemukan hasil yang melegakan. Jangan sampai masyarakat menjadi korban dari ketidakjelasan itu dan pemerintah-lah yang menengahinya agar tidak timbul konflik meluas.
Ya, pendekatan persuasif secepatnya dilakukan. Segera maju ke meja dialog, membawa dokumen dan argumentasi masing-masing. Lalu harus berjiwa besar menerima keputusan final. Sekali lagi, konflik lahan jangan dipandang sepele, karena ada ‘pertaruhan hidup dan harga diri’ di dalamnya. Pendekatan ini perlu apalagi masyarakat Bima-Dompu dalam satu ikatan batin yang sama sebagai modal menyelesaikan masalah. Semoga! (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
