Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Demokrasi, Politisasi Agama dan Marwah Bangsa

Oleh : Mawardi

(Direktur Nusatenggara Centre – Mataram)

TENSI beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pasca aksi damai 411 semakin meninggi, berbagai spekulasi, tendensi dan opini publik semakin berkembang liar, bahkan cenderung berhadap-hadapan baik antara pemerintah dengan masyarakat, tokoh agama dengan tokoh agama, ormas dengan ormas, dan sebagainya. Semuanya terakumulasi dalam beberapa problem besar pasca aksi damai 411, yaitu 1) Politisasi Agama, 2) Marwah Bangsa, dan 3) Penegakan Hukum. Menyikapi itu, Itikad baik pemerintah untuk mendinginkan persoalan keagamaan dan kebangsaan melalui silaturrahmi ke berbagai ormas keagamaan dan tokoh bangsa harus diapresiasi sebagai langkah positif dan solutif.

Silaturrahmi ini diharapkan dapat menahan dan meredam gejolak emosi dan potensi prilaku intoleran. Oleh karena itu, sebagai masyarakat bangsa Indonesia, penting untuk meletakkan komitmen bersama bahwa NKRI merupakan cita-cita bersama yang berada di atas semua kepentingan kelompok, suku, agama, etnis dan sebagainya, semua perbedaan dan keberagaman harus terbingkai dalam satu kesatuan NKRI.

Politisasi Agama

Salah satu problem yang belum tuntas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah politisasi agama. “agama” khususnya Islam dan agama lainnya selalu menjadi objek politik negeri ini. Hampir setiap gelaran pesta demokrasi, agama selalu ditempatkan pada pilihan isu strategis dan sensitif yang membangkitkan rasa solidaritas sekterian, kebencian ditengah masyarakat, dan penggiringan opini untuk mendapatkan empati maupun simpati masyarakat.

Bahkan kini, politisasi agama menjelang kontestasi politik telah menjadi sumber malapetaka bagi bangsa ini. Semua energi dan pikiran harus terkuras untuk menstabilkan suasana kisruh sosial politik yang membuat sesak umat beragama di Indonesia.Jika diamati,politisasi agama dalam kontestasi politik menempatkan diri dalam beberapa domein, yaitu pertama,domein Solidaritas keagamaan, Kedua, domein simbolik Pencitraan aktor, dan ketiga, dan domein black campaign.

Dalam domein pertama, politisasi agama diperankan untuk mengoyak dan membangkitan spirit ideologis, perasaan, dan pikiran yang sama sebagai ummat beragama dalam agama tertentu. Dan aksi damai bela Islam beberapa hari yang lalu merupakan salah satu contoh dari efek politisasi agama yang membangkitkan gerakan solidaritas keagamaan tersebut, yang walaupun patut disyukuri dan diapresiasi, gerakan solidaritas keagamaan ini dilakukan damai dan tertib.

Pada domein kedua, agama secara simbolik selalu diperankan dalam aktifitas politisasi agama, seperti simbol perbaikan dan pembangunan fasilitas-fasilitas keagamaan seperti masjid, dan sebagainyaseolah-olah menjadi barometer pencitraan politik dan keberpihakan aktor politik terhadap agama. Sedangkan, pada domain ketiga, agama seringkali dipolitisasi untuk menjatuhkan dan merusak karakter aktor-aktor politik tertentu, sehingga selalu berpotensi untuk menyulut prilaku-prilaku intoleran dalam setiap gelaran kontestasi politik.

Hingga saat ini, politisasi agama selalu memberikan efek negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, selalu memunculkan gesekan-gesekan antar umat beragama, selalu berpotensi dan bahkan menjadi salah satu sumber malapetaka bangsa ini serta selalu mengacam dan merapuhkan akar-akar kuat dari kebhinekaan dan keberagaman bangsa ini. Oleh karena itu, stop politisasi agama adalah pilihan politik bangsa Indonesia agar cita-cita konstitusi bangsa Indonesia dapat segera terwujud.

Marwah Negara

Salah satu ancaman terbesar Politisasi agama di Indonesia adalah disintegrasi bangsa, ummat beragama terpecah belah pada proses dukung mendukung dengan menggunakan dalil-dalil keagamaan. Elastisitas tafsir keagamaan menjadi pisau tajam yang digunakan untuk menyayat-nyayat perbedaan pemahaman dan pandangan keagamaan. Dampaknya, pro dan kontra keagamaan menyerang kebhinekaan dan keberagaman dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu, justeru negara, yang hadir sebagai pengayom dan pelindung ummat beragama harus menanggung dosa dan tanggung jawab yang besar atas dampak politisasi agama ini.

Teriakan protes ummat beragama terhadap politisasi agama secara damai dan tertib telah tercoreng oleh berbagai aksi-aksi anarkhis dan penghinaan terhadap simbol-simbol negara, yang oleh Presiden Republik Indonesia sangat disesalkan itu harus terjadi. Peristiwa ini telah menimbulkan masalah-masalah hukum baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi provokasi anarkhisme oleh oknum-oknum tertentu bukanlah cerminan identitas ke-Islaman masyarakat beragama di Indonesia.

Selain itu, penghinaan-penghinaan terhadap presiden  yang diduga terjadi pada aksi damai juga bukanlah cerminan dari sebuah aksi damai. Sesungguhnya aksi damai menginginkan cara-cara yang sejuk dan persuasif untuk menyalurkan aspirasinya, bukan dengan kata-kata hinaan terlebih kepada presiden sebagai salah satu cerminan dari identitas bangsa Indonesia.

Mengenai seruan damai dalam aksi damai ini, baiknya dikutip sebuah kutipan saduran surat Ali bin Abi Thalib yang diberikan kepada Malik Al-Asytar al-Nakha’i (gubernur Mesir). Kutipan surat tersebut adalah : “Janganlah menolak seruan perdamaian yang datang dari musuhmu, selama hal itu diridhai Allah. Sesungguhnya perdamaian akan memberikan istirahat bagi tentaramu, mengurangi keresahan hatimu dan mendatangkan keamanan negerimu..” atas dasar itu, maka sesungguhnya aksi damai 411 tidak mengharapkan adanya kerusuhan dan penghinaan terhadap siapapun terlebih kepada simbol/identitas bangsa ini.

Tetapi mengharapkan mendatangkan ketenangan bagi keresehan hati dan perasaan ummat Islam atas politisasi agama dan tentu sangat mengharapkan negeri ini tetap aman dan tidak tercemar oleh prilaku-prilaku politisasi keagamaan yang menghancurkan kebhinekaan dan keragamaan masyarakat sebagai sebuah bangsa.

Penegakan Hukum ; Sebuah Jawaban

Untuk menjaga marwah kehidupan beragama dan bernegara, maka terhadap efek negatif dari praktek politisasi agama, yang telah meresahkan hati dan persaaan ummat beragama. Terhadap dugaan tindakan provokasi anarkisme, serta dugaan penghinaan terhadap simbol/identitas bangsa Indonesia, Maka hukum sebagai panglima harus ditegakkan guna menjamin dan melindungi hak-hak konstitusi bangsa Indonesia. Urgensi Penegakan hukum, terletak pada upaya menyerasikan hubungan nilai-nilai yang telah dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai kedamaian dalam pergaulan hidup.

Oleh karena itu, untuk menciptakan suasana damai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai dugaan terhadap tindak pidana baik yang dilakukan melalui politisasi agama, provokasi, anarkisme maupun penghinaan terhadap simbol/identitas bangsa Indonesia harus ditegakkan secara cepat dan memenuhi rasa keadailan.

Dalam upaya penegakan hukum ini, hukum tidak dapat berkelit atau menghindar untuk tidak melakukan penegakan hukum. Hal ini sebabkan karena, negara ini telah memiliki nilai-nilai/peraturan- peraturan, aparat penegak hukum yang kredibel dan profesional, sarana dan prasarana yang memadai, dukungan masyarakat luas, serta bagian dari budaya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebaliknya, jika sebagai panglima, hukum tidak melakukan penegakan atas berbagai dugaan tindak pidana yang terjadi, maka perdamaian tidak dapat tewujud dinegeri yang cinta damai ini. Dan sesungguhnya, hukum, melalui norma atau kaidahnya hadir untuk tujuan kedamaian didalam kehidupan bersama, yang mana kedamaian itu akan mendatangkan suatu keserasian antara ketertiban dengan ketenteramanatau antara keterikatan dengan kebebasan.

Akhirnya, hukum lah yang menjadi jawaban tunggal atas kisruh kebangsaan ini, dengan profesionalitas dan kredibelitas penegak hukum, hukum akan mampu memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, dipundak penegak hukumlah law enforcement dan peace maintenance itu terwujud. (*)

 

 

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait