
Suasana Sarasehan Damai Bima untuk Indonesia, mengurai potensi konflik di Bima.
Kota Bima, Bimakini.- Konflik yang muncul selama ini, tidak terjadi begitu saja, namun dipengaruhi sejumlah aktor. Konflik di Bima juga selalu muncul, karena program antar-elemen tidak sinegis. Hal itu disampaikan Kabid Penanganan dan Pencegahan Konflik Bakesbangpoldagri Kabupaten Bima, Zunaiddin, SS, saat sarasehan Damai Bima untuk Indonesia, mengurai potensi konlik Dana Mbojo, yang dilaksanakan Rumah Cita, di aula SMKN 3 Kota Bima, Sabtu (12/11/2016).
Dikatakannya, agar bisa memecahkan persoalan konflik di Bima, dibutuhkan sinergitas program di internal pemerintah daerah dan juga elemen lainnya. Seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), MUI dan unsur lainnya.
Jika ada sinergitas tersebut, kata dia, maka potensi konflik dapat diredam. “Selama ini konflik hilang, dalam waktu lain muncul lagi, namun itu tidak terjadi karena spontan,” ujarnya.
Dandim 1608 Bima yang diwakili Danramil Monta, Mayor Dahlan, mengatakan, salahsatu ancaman disintegrasi bangsa adalah konflik. Menanganai konflik bisa sendiri, namun butuh kerjasama berbagai institusi atau elemen. TNI juga bertugas membantu Polri dan pemerintah daerah dalam menciptakan stablitas daerah. Faktor keluarga, pendidikan dan pengendalian diri individu menjadi penting dalam dalam meredam konflik. “Namun jauh lebih penting, bagaimana perubahan itu muncul dari diri sendiri,” ujarnya.
Selain itu, kata Dahlan, kebebasan saat ini tidak bisa dipungkiri, namun setidaknya kebebasan itu tidak berdampak anarkis. “Kalau mau demo silakan, namun jangan anarkis,” terangnya.
Selain itu, Dahlan juga menyampaikan dalam deteksi dini potensi konflik, termasuk berbau SARA dibutuhkan informasi akurat. Saat ini pintu informasi cukup banyak dan laporannya beragam. Berbeda ketika masa Orde baru informasi satu pintu.
“Setiap konflik yang muncul di Bima, TNI selalu hadir memberi edukasi kepada masyarakat,” terangnya.
H Ahmad Mahmud, SAg, dari pengurus MUI Kota Bima, mengatakan, ulama juga memiliki peran dalam pencegahan konflik baik sosial maupun SARA. Konflik itu sendiri sudah muncul dalam sejarah penciptaan manusia.
Dalam konflik yang berpotensi SARA, kata dia, kasus terbaru adalah dugaan penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Satu hal yang diapresiasi, Aksi 411 berlangsung damai.
Hal itu, kata dia, harus tetap dijaga dalam merespon kasus tersebut. Apalagi umat Islam Indonesia sudah mendapat pengakuan dunia, paling mengayomi minoritas. “Demo jangan sampai merusak, jangan sampai semut pun terinjak, apalagi merusak harta orang lain,” harapnya.
Direktur Rumah Cita mengatakan kegiatan ini sebagai respons terhadap maraknya konflik yang terjadi di Bima. Padahal sebelumnya, situasi Bima cukup kondusif. Mestinya hal itu bisa dirawat, namun kenyataannya tidak dijaga.
Dikatakannya, ruang dialog harus terus dibuka. Menyaring setiap informasi yang diterima. Menyelesaikan persoalan secara musyawarah dan memercayakan penegakan hukum.
“Sejumlah kasus yang muncul saat ini, kerap direaksi dengan cara aksi. Jika kasus sudah ditangani lembaga hukum, maka baiknya menghargai prosesnya,” ujarnya.
Usai diskusi, dilanjutkan dengan penandatangan paka integritas bersama, “Damai Bima untuk Indonesia”. 150 peserta yang hadir dalam serasehan itu membubuhkan tandatangan menjaga situasi Bima tetap kondusi. (BK25)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
