Kasus dugaan penistaan agama Islam yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kini menguncang Indonesia. Aksi demo mendesak aparat agar segera mengusut dan menangkap Ahok meletup. Tidak hanya di Jakarta, tetapi hampir seluruh daerah. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membandrol Ahok telah menistakan Al-Quran seolah menjadi energi tambahan yang memacu semangat protes umat Islam. Setelah aksi pertama pekan lalu, Jumat (04/11/2016) ini Aksi Bela Islam II kembali diagendakan. Presiden Joko Widodo terlihat kelabakan, karena massa diperkirakan jauh lebih banyak menyemuti areal dekat Istana.
Jika diurut ke belakang, perilaku dan pilihan kata Ahok selama memimpin Jakarta menjadi bahan sorotan. Umpatan, makian, dan kata-kata kasar hampir setiap saat keluar dari mulutnya ketika mengomentari dan merespons sesuatu. Mulutnya bak comberan–begitu orang pernah menyorot ‘akhlak komunikasi-nya’. Sesuatu yang oleh publik dinyatakan sebagai hal aneh terlihat dari diri pemimpin. Tetapi, itulah fakta di depan hidung kita. Ditambah lagi akumulasi kekecewaan terpinggirkannya simbol-simbol Islam di ibukota. Cuap-cuap Ahok di Kepulauan Seribu yang membahasakan secara serampangan surah Quran Al-Maidah ayat 51, telah melukai hati umat Islam. MUI melabelinya sebagai tindakan penistaan agama. Lalu letupan kemarahan pun memuncak.
Tindakan penistaan agama memang memiliki riwayat di negeri ini. Kasus Arswendo Atmowiloto melalui ranking figur berpengaruh yang melibatkan Nabi Muhammad SAW dan Rusgiani, ibu rumah-tangga yang mencibir peralatan ibadah umat Hindu di Bali, adalah contoh nyata. Mereka telah dihukum. Kini Ahok tengah dalam radar bidikan proses hukum. Kita menunggu bagaimana kasus mantan Bupati Belitung Timur ini diproses. Nah, kini umat Islam menuntut keadilan hukum dan penguasa agar tidak melindunginya.
Aksi demo terhadap sesuatu memang hal wajar. Alam demokrasi telah menyediakan ruang luas untuk mengekspresikannya. Namun, sebagaimana harapan semua pihak, aksi harus tetap dalam kendali. Tidak anarkis, tidak merusak. Tidak mudah tersulut provokasi yang berpotensi mengeruhkan suasana. Aparat keamanan diharapkan mampu mengawal penyampaian aspirasi ini hingga benar-benar aman dan lancar. Semoga demikian di Bima dan Dompu.
Sekali lagi kita berharap massa aksi membidik Ahok ini, pada semua lokasi dan wilayah, menampilkan keanggunan sikap kritis, mengekspresikan keeleganan tindakan, dan mampu menyuguhkan akhlakul karimah. Meski di tengah luka hati yang menganga lebar dan kegeraman yang tidak bisa terlukis kata. Sesuatu yang sulit dipraktikan secara simultan kan? Namun, itulah tantangannya.
Intinya, kesadaran hati umat Islam (Bima dan Dompu) harus tetap terjaga dalam maqam kesuciannya pada Jumat siang ini dan hari-hari seterusnya. Ya, keanggunan akhlakul karimah. Semoga! (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.