
Sarasehan Damai Bima untuk Indonesia di aula SMKN 3 Kota Bima, Sabtu (12/11/2016) lalu.
ADA satu pertanyaan yang selalu mengemuka di tengah dinamika kehidupan sosial kita. Mengapa konflik antarkelompok warga selalu muncul di Dana Mbojo? Pertanyaan yang selalu aktual disampaikan seiring selalu aktualnya pula beragam konflik warga dalam beragam dimensi pemicunya. Jika keluar daerah, masyarakat luar Mbojo berkecenderungan diidentikan dengan wilayah langganan konflik. Terasa pahit dan getir mendarat di kuping. Tetapi, kita pun gagap dan gamang menjelaskan sedetailnya untuk membantah fakta. Pada titik ini, rangkaian yang telah terjadi itu, mari kita terima sebagai fakta.
Soal dimensi konflik, ada satu sudut tilikan yang disampaikan pejabat Bakesbangpolinmas Kabupaten Bima saat sarasehan Damai Bima untuk Indonesia, mengurai potensi konlik Dana Mbojo di aula SMKN 3 Kota Bima, Sabtu (12/11/2016) lalu. Konflik yang muncul selama ini, tidak terjadi begitu saja. Namun, dipengaruhi sejumlah aktor. Antara lain program antar-elemen tidak sinegis. Ya, konflik memang tidak berdiri sendiri, tetapi muncul dari akumulasi atau rangkaian faktor yang melingkupinya. Dalam konteks itu pula, maka penanganannya harus simultan dan sinergis. Bagaimana mewujudkan sinergitas inilah yang diperlukan dalam mengantisipasi dan meredam konflik. Apalagi, konflik yang melibatkan massa. Jika ada sinergitas, maka potensi konflik dapat diredam.
Jika dibidik dari sisi yang luas, imbas konflik sangatlah parah. Terutama ketika warga dua wilayah dalam satu jalur jalan atau peta geografis wilayah yang berdekatan. Ditambah lagi kecenderungan masyarakat Mbojo dan Dompu menumpahkan kemarahannya melalui blokade jalanan. Dalam dua bulan terakhir, seringkali jalanan diblokir massa ketika aspirasinya terhadap sesuatu macet. Memerjuangkan sesuatu tanpa menyasar badan jalan, dalam persepsi sebagian masyarakat sekarang rasanya kurang afdhal. Efek dominonya segera terasa. Jalanan macet, arus kendaraan semrawut, aktivitas perekonomian terganggu. Suasana kenyamanan pun terasa, apalagi ada yang menyisir warga kelompok lain di jalanan.
Kita mengharapkan melalui serangkaian seminar, diskusi, bincang-bincang atau coffee morning/night, semua dimensi yang bergerak beriringan dengan konflik terungkap, lalu ditemukan ‘benang merah’ untuk ditindaklanjuti. Ya, memang dibutuhkan kekompakan, kerjasama, sinergitas, dan tanggungjawab bersama untuk mencari solusi konflik. Ketika ada pihak yang ikut memanas-manasi suasana, maka letupannya sangat berbahaya. Demikian juga informasi sumir dan parsial di Media Sosial, berikut foto-foto kekerasan. Semua itu bisa berkontribusi mengeruhkan suasana.
Rasanya, kita sudah lama berjibaku dalam konflik yang ongkos sosialnya juga mahal. Tidak bisakah kita berdamai? Atau menghentikannya (sementara) untuk bersama membangun kualitas kehidupan yang beradab. Siapa yang berani memilih moratorium konflik demi daerah ini? (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
