Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Penegakan Hukum dan Kemauan Politik, Keharusan atas Dugaan Penistaan Agama

Oleh: Andi Admiral

(Penulis adalah Pemerhati Sosial-Politik NTB)

Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menimbulkan gelombang gerakan massa di kalangan umat Islam Indonesia, yang dikenal Aksi Bela Islam (ABI) Jilid I dan Jilid II (4 November 2016). Kasus ini juga telah menjadi perhatian publik seluruh wilayah Indonesia. Tidak terkecuali aksi serupa muncul di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB).
Gelombang gerakan massa tersebut pada intinya menuntut penegakan supremasi hukum terhadap kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Hal ini perlu dimaknai bahwa tuntutan penegakan supremasi hukum dalam kasus itu sangatlah penting dalam upaya menciptakan dan melindungi masyarakat dari kedamaian dan ketertiban. Sekaligus menunjukkan bahwa warga Indonesia akan sangat menghormati hukum itu sendiri dengan memosisikan Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945).
Konsekuensi dari pengakuan negara Indonesia sebagai Negara hukum, tentu memiliki tiga prinsip dasar yang wajib dijunjung dan dihormati oleh setiap warga negara. Yaitu supremasi hukum, kesetaraan di depan hukum, dan penegakan hukum menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Ketiga prinsip dasar tersebut memberikan harapan untuk mencapai tujuan ideal yakni terciptanya keadilan.
Oleh karena itu, penyelesaian kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok melalui proses hukum demi tegaknya keadilan, tentu menarik diulas dengan melihat dari dua perspektif. Yakni kemauan politik (politicall will) dari pemerintah dan penegak hokum dan ekspektasi publik dalam penyelesaian kasus tersebut. Antara kemauan politik pemerintah dan penegakan hukum sangat berkorelasi positif dengan harapan-harapan publik yang menghendaki terwujudnya “rasa keadilan”. Oleh karena itu, rasa keadilan ini harus diposisikan secara netral, di mana setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa terkecuali.

Kemauan Politik Pemerintah
dan Penegak Hukum

Sejak bergulirnya kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok, muncul berbagai persepsi negatif dan tudingan terhadap posisi Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Pemerintahan maupun terhadap Kapolri sebagai aparatur penegak hukum. Sebagian kalangan mengeritik bahwa Presiden dan Kapolri tidak memiliki kemauan politik untuk memroses dan menuntaskan kasus Ahok tersebut. Kendati kiritik dan persepsi tersebut perlu diuji kebenarannya menggunakan berbagai indikator.
Satu di antara indikator penting dalam penegakan supremasi hukum adalah menjadikan hukum sebagai panglima. Karena itu, upaya penyelesaian kasus Ahok melalui proses hukum adalah keharusan yang mesti mendapat dukungan dari seluruh elemen bangsa, termasuk pemerintah dan aparatur penegak hukum. Munculnya kemauan politik dari pemerintah dan aparatur penegak hukum, tentu dapat diukur dari langkah-langkah dan tindakan nyata yang telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Selain itu, beberapa indikator yang juga bisa dipergunakan untuk mengukur kemauan dan keseriusan pemerintah dalam penegakan hukum, yakni adanya inisiatif, skala prioritas, dan mobilisasi dukungan publik.
Pertama, sisi inisiatif. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan pada forum resmi, bahkan di depan para ulama, tokoh-tokoh agama dan pimpinan Ormas Islam, telah berulangkali menyampaikan tidak melindungi Ahok dalam perkara dugaan penistaan agama. Dari aspek ini, kemauan dan keseriusan politik dari Presiden Joko Widodo patut dihargai dan didukung bersama untuk mewujudkan tegaknya supremasi hukum dalam bingkai NKRI, terutama dalam penyelesaian kasus hokum Ahok tersebut. Presiden Jokowi juga telah berulangkali menyampaikan tidak akan mengintervensi proses hukum Ahok. Hal ini sebagai bentuk jaminan, sekaligus jawaban terhadap kepercayaan publik bahwa proses hokum dalam perkara dugaan penistaan agama oleh Ahok diserahkan sepenuhnya kepada aparatur penegak hukum.
Kedua, skala prioritas. Tentu Presiden Jokowi telah menginstruksikan kepada Kapolri agar cepat, adil dan transparan dalam mengusut kasus tersebut. Dalam hal ini, langkah dan tindakan nyata dari Kapolri dalam menerjemahkan instruksi Presiden tersebut dengan memroses hukum kasus Ahok yang menawarkan kepada publik untuk gelar perkara secara terbuka dan transparan, patut dihargai sebagai upaya untuk mewujudkan penegakan hukum yang adil dan transparan. Selain itu, langkah berani Kapolri yang mengeluarkan diskresi dengan mengenyampingkan norma hukum terhadap larangan proses hukum terhadap calon Kepala Daerah yang tersangkut kasus hukum guna menghindari anasir-anasir politis, juga harus dimaknai sebagai bentuk keseriusan Kapolri dalam merespons aspirasi publik untuk penyelesaian kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok.
Ketiga, aspek mobilisasi dukungan publik. Upaya Presiden RI yang mengunjungi para ulama, tokoh agama, pimpinan Ormas Islam dan tokoh politik merupakan wujud dari kemauan politik pemerintah untuk mendapatkan dukungan publik dalam penegakan hukum kasus Ahok. Hal ini juga sejatinya dimaknai sebagai bentuk keseriusan Presiden RI untuk menjawab kritik publik terhadap dugaan intervensi presiden dalam proses hukum Ahok.
Ketiga indikator penilaian terhadap kemauan politik pemerintah dan aparat penegak hukum menurut hemat penulis merupakan jawaban dari ekspektasi publik dalam upaya mewujudkan supremasi hukum, terutama dalam proses hukum dugaan penistaan agama oleh Ahok. Karena itu, kemauan politik pemerintah dan aparat penegak hukum sangat berkolerasi dengan ekspektasi publik dalam mewujudkan “rasa keadilan”.

Harapan Publik
terhadap Tegaknya Keadilan

Memosisikan hukum sebagai panglima dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah keharusan. Kendati kritik mendasar yang sering muncul, adalah mampukah hukum yang ada dapat menjamin keadilan subjektif masing-masing warganya atau semua golongan sosial yang ada. Tentu untuk menjawab kritikan tersebut tidaklah mudah. Dalam tulisan ini tentu tidaklah berkompeten untuk menjawabnya, karena persepsi publik tentang “rasa keadilan” adalah variabel subjektif. Selain itu, rasa keadilan subjektif hanya dapat diuji melalui proses houkum dalam lembaga peradilan.
Tetapi, paling tidak, kehadiran Negara melalui kemauan politik dari Presiden Jokowi dan aparatur negara (Kapolri) dalam penegakkan supremasi hukum terhadap kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok, setidaknya mampu menjawab harapan publik untuk memberikan kepastian hukum, serta mewujudkan tertib sosial dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk dapat mencapai keadilan hukum, maka instrumen penegakan hukum terhadap kasus Ahok sangat diperlukan melalui putusan lembaga peradilan. Hal ini juga patut disadari oleh seluruh komponen masyarakat bahwa menunggu putusan pengadilan yang seadil-adilnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena harus melalui proses panjang dari lembaga peradilan.
Ketika kita (warga negara Indonesia) bersepakat menempatkan hukum sebagai panglima, tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Maka sejatinya kita sebagai warga negara juga harus konsisten dalam mengawal proses penegakan hukum di wilayah Indonesia, tanpa melalui tekanan publik terhadap aparatur penegak hukum. Karena itu, dalam konteks penyelesaian kasus penistaan agama oleh Ahok, sejatinya kita sebagai warga negara yang terdidik memercayakan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum melalui proses hukum. Demi tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan, maka sepatutnya proses hukum dugaan penistaan agama oleh Ahok menjadi tugas dan tanggung jawab aparat penegak hukum melalui institusi peradilan, bukan melalui cara lain.
Wallahua’lam bisshawab.

 

Mataram, 11 Nopember 2016.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait